Lelaki Tanpa Matahari (4)


Perjalanan cintaku dan Amelia berjalan tanpa hambatan yang berarti. Setiap saat terjalin komunikasi, meski sekedar sebuah pesan singkat. Bahkan, setiap akhir pekan dia sering pulang ke Bireuen sekedar menjumpaiku. Oh ya, Amelia kuliah di sebuah universitas di Banda Aceh, sedangkan aku berkantor di Bireuen. Paling tidak, dua minggu sekali kami saling mendatangi. Kalau tidak Amelia yang ke Bireuen, ya aku yang ke Banda Aceh.


Kali ini kehidupan yang kujalani benar-benar berbeda dengan yang pernah kulakoni di Jakarta. Di sana, aku tidak pernah merisaukan urusan pekerjaan. Hanya kehidupan pribadiku yang hancur. Tapi sekarang, di saat kehidupan pribadiku membaik, justru lingkungan kerjaku yang mulai berantakan.

Persoalan klasik yang sering menerpa sebuah penerbitan pers terjadi juga di Rajapost. Ketidakharmonisan hubungan antara manajemen dan keredaksional mulai menggerogoti lingkungan kerjaku. Bahkan, sikap ketidaktegasan yang selalu diperlihatkan pemimpin redaksi membuat aku bekerja di luar keikhlasan. Hanya sekedar memenuhi kewajiban dan tanggungjawab sebagai orang yang digaji.

Meski banyak masalah di redaksi yang bisa kuselesaikan, terpaksa kubiarkan. Aku hanya menjaga tugas pokok yang sudah diembankan kepadaku, tidak ambil pusing dengan ketidakberesan yang terjadi di sekelilingku.

“Ari, udah siap halamanmu? Kalau sudah, tolong bantu edit berita daerah untuk konsumsi halaman satu dong,” tutur Retpel melalui saluran telepon antar ruang.

“Sorry banget, halamanku memang dah siap. Tapi aku mau istirahat. Lagian itu bukan tugasku!” jawabku dan kembali membantingkan gagang telepon ke induknya.

Sebenarnya sikap seperti itu di luar kebiasaanku. Padahal biasanya aku tanpa harus dikomando sering mengmbil alih tugas rekan-rekan yang keteter. Ya, perubahan itu terjadi karena aku mulai tidak suka dengan sikap Pemred dan Redpel yang sesukanya memasukkan orang-orang yang kredibilitasnya tidak jelas di jajaran redaksi dan wartawan.

Kondisi itu terus berlangsung hingga tercipta dua kubu di jajaran redaksi dan wartawan di lapangan. Tanpa aku sadari, secara diam-diam, sebagian redaktur dan wartawan juga mulai menunjukkan sikap tidak suka terhadap Pemred dan kroni-kroninya yang notabone keluarganya. Mereka lebih memilih mendengar arahanku ketimbang perintah Redpel atau Pemred sekalipun. Dan, aku sama sekali tidak mengkondisikan demikian. Semua berlangsung dengan sendirinya, tanpa unsur kesengajaan dariku.

Sementara keruncingan antara manajemen dan redaksi semakin parah. Aku paham betul, kondisi itu harus segera berakhir. Kalau tidak, berarti Rajapost akan segera turun tahta. Lingkungan kerja yang semakin tidak sehat itu membuat aku dihadapkan pada dilema yang sulit. Di satu sisi aku harus menyelamatkan rekan-rekan yang setia dengan kebijakan-kebijakanku, tapi di sisi lain aku ingin terlepas dari semua itu. Tokh, pikirku, aku masih bisa bekerja di media lain yang sudah mapan atau kembali menerbitkan tabloid-ku dengan menggaet investor lokal yang sudah banyak mengenalku.

Aku benar-benar dihadapkan pada dua sisi mata uang yang berbeda. Dan, aku benar-benar linglung dibuatnya. Beruntung, di saat kondisi seperti itu, bidadariku sedang libur panjang kuliahnya. Jadi, setiap saat Amelia memiliki kesempatan untuk menemani hari-hariku.

“Dek, sekarang abang benar-benar sedang kacau dengan lingkungan kerja yang gak sehat. Mau kan adek nemani abang menghadapi masa-masa sulit ini?” desahku dalam perjalanan menjemputnya dari Banda Aceh untuk kembali ke Bireuen.

“Adek gak mau ikut campur dengan urusan abang di kantor. Tapi adek kan selalu mendukung segala sesuatu yang terbaik menurut abang.” ....... Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 5