Selama ini, syarat untuk menjadi wartawan di Indonesia
sangat longgar dan permisif. Siapa saja dengan gampang bisa menyandang profesi
wartawan, tanpa pernah diuji dan teruji, yang bersangkutan layak atau tidak disebut
wartawan.
Menurut perkiraan saya, lebih 50 persen wartawan di
Aceh bukan berlatar belakang pendidikan jurnalistik. Bahkan, ada yang tidak
pernah mengikuti pelatihan kewartawanan, sehingga—sebenarnya—mereka tidak layak
menyandang predikat wartawan.
Padahal, wartawan adalah sebuah profesi. Untuk bisa
menyandang profesi tersebut, yang bersangkutan semestinya—paling tidak—pernah
mengikuti pendidikan kewartawanan. Selanjutnya, wartawan juga perlu diuji
kelayakan menjalankan profesi tersebut.
Karena itu, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) menjadi
solusi untuk mencegah penyandangan profesi kewartawanan oleh orang-orang yang
tidak berhak. Hal ini sebagaimana imbauan Dewan Pers yang ‘mewajibkan’ setiap
wartawan mengantongi Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang diperoleh melaluli
UKW.
UKW terbagi dalam tiga jenjang, yakni wartawan muda,
madya, dan utama. Muda, ujian bagi wartawan profesional yang sudah menjalankan
tugas kewartawanan 2-5 tahun berjalan (reporter/asisten penulis/ asisten
produser/asisten redaktur). Madya, ujian
bagi wartawan profesional yang sudah menjalankan tugas kewartawanan 6-11 tahun
berjalan (redaktur, penulis/produser). Utama, ujian bagi wartawan profesional
yang sudah menjalankan tugas kewartawanan minimal 12 tahun (redaktur
senior/redaktur pelaksana/ penanggung jawab rubrik/koordinator liputan dan posisi-posisi di atas itu).
Untuk muda, materi yang diuji yakni mengusulkan berita,
mengidentifikasi liputan, analisa bahan liputan, merencanakan liputan
investigasi, menulis berita, rapat
redaksi, merancang isi berita, menyunting berita dan mengevaluasi, membangun
jejaring, wawancara cegat dan terjadwal.
Sementara madya, materi yang diuji yaitu rapat redaksi,
koordinasi atau identifikasi liputan pemberitaan, analisa bahan liputan
terjadwal, merancang dan merencanakan liputan investigasi, menulis feature,
menyunting berita, merancang isi rubrik media, evaluasi hasil liputan, serta
membangun dan memelihara jejaring atau lobi.
Sedangkan utama, materi yang diuji yakni memimpin rapat
redaksi, mengarahkan liputan investigasi, menentukan bahan liputan, menulis
opini/tajuk, kebijakan rubrikasi, dan fasilitasi jejaring atau lobi.
Dalam ujian rapat redaksi, para peserta melaksanakan
rapat seperti rapat rutin di media masing-masing. Rapat
dipimpin peserta UKW tingkat utama, sementara peserta madya bertindak sebagai
pemegang halaman dan peserta muda sebagai wartawan atau reporter.
Untuk mata uji koordinasi dan identifikasi liputan
pemberitaan, peserta madya bergabung dengan peserta muda. Para peserta madya
memberikan proyeksi kepada peserta muda. Seperti rutinitas di kantor redaksi,
hasil proyeksi itu dituliskan dalam lembar jawaban yang telah disediahkan.
Selanjutnya analisa bahan liputan, para peserta diminta
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan oleh penguji. Lalu ujian
menulis (stainght news untuk muda, feature untuk madya, opini/tajuk untuk
utama) dengan batas waktu yang disiapkan oleh penguji, biasanya 15 menit.
Berikutnya ujian menyunting berita. Peserta diberikan
naskah berita yang masih kusut untuk diperbaiki. Disusul merancang liputan
investigasi. Ingat, liputan investigasi berbeda dengan liputan indepth
reporting. Selama menjadi Pemimpin Redaksi Harian Aceh dan Harian Pikiran
Merdeka, saya banyak menemukan wartawan yang menganggap indepth reporting
adalah hasil liputan investigasi.
Lalu ujian evalusi hasil liputan pemberitaan. Seluruh
peserta kembali dikumpulkan dalam rapat redaksi. Peserta utama memimpin rapat,
peserta madya bertindak sebagai pemegang halaman dan peserta muda sebagai
penyetor berita.
Dalam UKW juga ada ujian membangun dan memelihara
jejaring serta lobi. Para peserta diminta menuliskan sejumlah nama nara sumber
beserta nomor telepon yang dapat dihubungi. Penguji kemudian meminta peserta
menelpon satu atau dua dari sekian nara sumber yang tertulis itu. Dalam materi
ini, penguji berbicara langsung dengan nara sumber melalui sambungan handphone
untuk memastikan sumber yang dihubungi peserta itu tidak fiktif serta untuk
mengetahui penilaian nara sumber terhadap wartawan yang bersangkutan.
Peserta dinyatakan lulus jika setiap mata uji mendapat
nilai minimal 70. Satu mata uji saja mendapat nilai di bawah 70—meski mata uji
lain mendapat nilai besar—peserta tersebut dinyatakan tidak lulus.
Demikian gambaran mengenai materi UKW sebagaimana
pengalaman saya dua kali mengikuti uji kompetensi tersebut. Setalah dinyatakan berkompeten tingkat Madya, saya kembali memperoleh sertifikat kompeten tingkat Utama sebagai syarat menjadi penanggungjawab pada media yang saya pimpin. Akhirnya, jadilah wartawan yang
tidak sekedar mengantongi kartu pers. Namun, Anda adalah wartawan profesional
yang menjalankan tugas-tugas kewartawanan dengan baik dan benar.(*)