Lelaki Tanpa Matahari (1)
Aku selalu tersesat di belantara sunyi. Sebuah dunia yang memberiku kenikmatan sekadar mengungkapkan kegelisahan. Aku mencintai malam. Kegelapan kugeluti dalam diam. Sepanjang malam, kurengkuh beragam asa. Kutuang dalam untaian selaksa kata. Ketika subuh datang, semua menjadi satu. Sebuah kemasan cerita. Lalu, aku terlelap dalam jilatan gemercik surya pagi. Ya, aku penulis malam. Entah sampai kapan?
Selama belasan tahun, aku paling benci melihat matahari terbit. Sebab, sinarnya tidak mampu menerangi hidupku. Matahari itu bukan milikku. Matahariku telah lama padam. Direngut keganasan kehidupan dan diombang-ambingkan permainan nasib. Kuakui, itu takdirku. Aku memang ditakdirkan berteman kegelapan dan kegelisahan.
* * *
Tengah malam. Mendadak kutemuakan diriku dalam keadaan gelisah. Kutatap langit-langit kamar kerjaku. Aneka scane kisah lama terpantul kembali. Seperti ada proyektor memutar ulang perjalanan panjang yang pernah kurengkuh. Episode demi episode mengalir. Mengembalikan pikiranku ke belasan tahun silam.
Tinggalkan Aceh. Kakiku menginjak Medan, kota yang menyeret langkahku ke dunia yang kemudian menjadi alam paling kubenci sekaligus paling kucintai. Jurnalistik. Kubenci karena tidak memberiku materi berlebihan. Namun, kucintai karena memberiku kepuasan.
Aku diterima di sebuah media besar. Awal karir membanggakan, tapi kemudian menyesatkanku. Tulisanku digemari banyak orang. Terutama remaja putri. Sebab, aku punya kemampuan cukup menulis fiksi-fiksi romantis. Dari dunia itu, aku berkenalan banyak gadis. Tergaet dan terlepas. Aku mengembara dari satu hati ke lain hati. Tak jarang aku dikecewakan, dan tak jarang pula aku mengecewakan. Tak peduli. Semangat empat-lima tak pernah padam. Mengejar, bahkan merampas, lalu menggemgam hati. Kadang terlepas, sebagian kuhempas.
Namun, aku kemudian terjatuh. Terperangkap ranjau yang kutebarkan. Cinta, kuanggap satu kata tanpa makna. Seperti bunga. Kuncup, mekar, lalu layu dan gugur. Tiada harga. Tapi, kemudian berbalik. Aku jadi pengagum cinta. Seperti Cleopatra yang rela mati bersama karena kecintaannya pada Julio Caisar. Atau kecintaan Prabu Rama pada Dewi Shinta yang menyebabkan perang Bharata terjadi. Mungkin juga, aku seperti Ken Arok yang tega membunuh Gayatri demi megngagungkan cinta Kendedes.
Kenyataan itu menderaku. Hatiku tertambat pada teman kuliahku. Gadis berdarah campuran Tionghoa-Batak menyeretku pada cinta yang sesungguhnya. Lama kukejar cintanya. Dan, ketika kudapat, malapetaka pun terjadi. Agama menjadi penghalang cinta kami.
“Lisa, nggak mungkin kita selamanya begini. Kita cuma bertemu di kampus. Ntar malam aku ngapel, ya?” desahku seraya mengimbangi langkahnya, menuruni anak tangga lantai tiga kampus.
“Jangan,” tukasnya.
“Kenapa?”
Dia menggeleng. Sorot matanya menatap nanar. Aku balas menatapnya.
“Kenapa? Ini kan malam minggu, atau ada yang lain,” desakku.
Langkah Lisa terhenti. Tubuhnya membelakangiku. Kuraih bahunya dan kutengadahkan wajahnya ke arahku. Sebutir kristal mengembang di pelupuk matanya. Dia menggigit bibirnya. Di antara gemercik getar bibirnya, Lisa mendesah. Pelan, tapi sangat jelas di indera pendengaranku.
“Lisa dilarang bergaul ama teman di luar agama kami. Keluargaku akan murka kalau tahu Lisa pacaran dengan seorang muslim.”
Aku tersentak. Aku baru sadar kalau ayah Lisa seorang pengurus gereja. Kristiani taat dan berpengaruh di kalangan rohaniawan protestan. Bibirku mendadak kelu. Kutelan liurku yang terasa pahit. Matahari di atas Teladan sudah separuh tenggelam. Aku terpaku menatap laju becak yang membawa tubuh Lisa menerobos keremangan senja.
Setiba di rumah, kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Aku bergelut dengan pikiranku sendiri. Kucoba berpikir keras. Lalu tenggelam ke kedalaman perasan yang tak menentu.
Pantulan matahari pagi menerobos ventilasi jendela. Aku masih terbaring, terbungkus selimut tebal. Pagi ketiga aku tidak ke kampus, tidak meliput, dan tidak masuk kantor. Waktuku, kuhabiskan di tempat tidur dan bergelut dengan rentetan perasaan. Akh, aku benar-benar telah kalah. Tak mampu mengendalikan kecamuk perasaanku sendiri. Haruskah aku bertahan dengan keadaan sekarang? Akh tidak! Aku tidak boleh mengedepankan keinginan dan mimpi-mimpi indah bersama Lisa. Aku harus mengalah. Biarlah Lisa menikmati hari-hari ceria di tengah keluarganya. Biarlah Lisa tetap kuliah dan menggapai hari depannya. Aku harus berlalu. Berlalu!
Bibirku terkunci rapat. Namun, ribuan kalimat meluncur dari kedalaman jiwa. Ya, aku harus berlalu. Biarlah aku diobrak-abrik cinta ini. Biarlah aku hancur. Takdir menghendaki, cinta suci bukan berarti harus memiliki.
Kuputuskan, aku meninggalkan kota ini. Membawa rentetan kisah duka yang masih tergenggam di jiwa. Jakarta, kota tujuan yang kupilih. Aku akan kembali merajut hari-hari sepi. Jauh dari orang-orang yang kukenal. Tapi, aku harus bisa. Metropolitan harus kutaklukkan.
Sebelum berangkat, aku sempat menulis seuntai surat terakhir untuk Lisa. Isinya begini:
Lisa, ada kalanya cinta dihadapkan pada dilema yang sulit. Tapi, kita harus arif menentukan pilihan. Tidak semua yang kita impikan bisa tergenggam dalam realita. Kita hanya boleh berencana. Namun, keputusan akhir ada di tangan Tuhan.
Aku harap, kau jangan mengira aku pengecut. Untuk kebahagiaan dan keutuhan keluargamu, aku memutuskan meninggalkan kota ini. Aku tidak ingin melihatmu menderita karena aku. Teruskan kuliahmu. Dan, biarkan aku pergi bersama padamnya matahariku.
Lisa, berusahalah membunuh rasa yang pernah kita genggam bersama. Lupakan janji-janji yang pernah terukir di hati. Melangkahlah dengan jalan sendiri-sendiri. Meski berat, aku juga berusaha melupakanmu. Ya, menguburkan semua mimpi yang pernah singgah di hatiku sejak aku mengenalmu. Meski begitu, I never say good bye ..... Aku akan mencari pengganti matahariku yang hilang, meski entah kapan kutemui lagi .... Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 2