“Gimana? Langsung berangkat?” tanyaku seraya menuntunnya ke sepeda motor.
Amelia mengangguk. Kustarter sepeda motor dan kami tancap gas.
Membelakangi matahari yang mulai memancarkan terik yang menyengat tubuh.
“Gak ada yang tau kan adek berangkat ama abang?” teriakku,
mengimbangi suara kendaraan yang berseliweran di jalanan yang kami
lewati.
“Gak. Moga aja nggak ada yang tau adek jalan lagi ama abang,” jawab Amelia, persis di telingaku.
Kemudian, sepanjang jalan kami lebih banyak diam. Semprotan sinar matahari semakin panas. Amelia merebahkan kepalanya ke bahuku.
Tiba di Sare, di atas pegunungan Seulawah, kami berhenti untuk
istirahat makan siang dan salat zuhur. Dari warung tempat kami menikmati
makan siang, sorot mataku terus memperhatikan keceriaan anak-anak yang
sedang naik di punggung gajah. Persis di depan warung, di lapangan
seberang jalan.
Tiba-tiba aku merasa cemburu dengan keceriaan mereka. Sebab, meski
sedang bersama Amelia, perasaanku sekarang tetap saja diselimuti
kegelisahan. Perasaan yang sama mungkin juga dirasakan bidadari di
sampingku. Amelia juga lebih banyak diam. Hanya sesekali memperlihatkan
senyumannya yang jelas seperti dipaksakan.
Selesai makan siang, jantungku mendadak berdebar kencang. Ketika
mengambil tisu untuk menyeka mulut, tanganku gemetar. Sesaat kemudian,
puncak ketidaknyamananku dan Amelia benar-benar tiba. Sebuah minibus
parkir di depan warung. Di antara beberapa penumpang, seorang perempuan
setengah baya yang sangat kami kenal turun dari minibus itu.
Muka Amelia seketika berubah pucat. “Makcik,” gumamnya tersekat. Ya,
perempuan itu adiknya ibu Amelia yang memang telah lama menentang
hubungan kami. Lebih-lebih setelah mendengar cerita Wati tentang
kehidupanku dulu.
Ketika sorot mata perempuan itu tertuju ke arah kami, aku dan Amelia
tidak mampu menyembunyikan perasaan takut. Kami saling berpandangan.
Kemudian sama-sama menunduk. Sementara perempuan itu terus mendekat.
“Kalian masih saja berhubungan. Anak tidak tahu diri, kayak tidak ada
laki-laki lain aja,” ujarnya seraya menyeret tangan Amelia ke luar
warung.
Amelia terperanjat. Beberapa kepala di warung itu berpaling ke arah
kami. Aku cepat-cepat membayar ke kasir dan langsung mendatangi Makcik
yang sedang mendamprat Amelia di samping warung.
“Makcik, tolong mengerti kami. Jangan pisahkan kami…” ujarku seraya berusaha menantang tatapan matanya.
“Tidak ada urusan ama kamu. Tinggalkan aja kami berdua di sini. Sana kau.”
Sementara Amelia menyandarkan tubuhnya ke dinding warung. Tangisnya
pecah dalam diam. Makcik terus saja mendambratnya dengan beribu kalimat
kecaman atas kebersamaan kami. Mata orang-orang di sekitar itu menatap
heran ke arah kami.
Aku menunduk. Amelia kemudian malah menjongkok. Air matanya mengucur
deras. Dia seperti tak berdaya. Hanya isaknya yang mulai terdengar
miris.
“Makcik, tolong. Tolong mengerti kami,” ucapku seraya berusaha memegang tangan perempuan itu.
Tapi, dia cepat menepisnya. “Sudah. Sana kamu, mau pigi ke mana kek.
Amelia akan ikut denganku kembali ke Bireuen,” tutur Makcik setengah
menghardikku.
Aku terpaku. Terlebih saat Amelia diseret Makcik ke dalam mobil.
Amelia berusaha meronta. Nafasnya deras kudengar sangat jelas. Namun,
helaan tangan Makcik yang keras membuat bidadariku tak berdaya. Ketika
Amelia sudah berada di dalam mobil, pintu minibus itu ditutup dengan
keras. Beberapa penumpang masuk ke mobil lewat pintu yang lain.
Sorot mata Amelia terus menatapku dengan pandangan kosong. Kurasa ada
ribuan kalimat yang ingin disampaikan padaku. Namun bibirnya seperti
tak mampu digerakkan. Sementara aku hanya termangu. Bahkan, sama sekali
tak menghiraukan puluhan mata yang menatapku dengan pandangan yang sulit
kumengerti.
Mesin minibus itu dihidupkan. Hingga mobil yang membawa tubuh
matahariku bergerak, aku masih saja berdiri di depan warung dengan jiwa
yang melompong. Mataku terus menangkap sorot mata Amelia yang tak lagi
memantik asa. Mungkin dia sedang memikirkan tentang keinginan-keinginan
kami yang tak mungkin lagi terkabulkah. Tidak perlu lagi
hitungan-hitungan statistik tentang rencana hari esok yang telah kami
siapkan. Karena, semuanya sudah tak mungkin.
Detik demi detik berkejaran dalam hitungan waktu, detak jantungku pun
berdegup tak karuan. Seketika kurasakan ada yang hilang dari dalam
diriku. Ya, matahariku telah menjauh. Jauh, dan sulit untuk terjangkau
lagi.
Aku menstarter sepeda motor. Masih dalam kecamuk perasaan yang tidak
menentu, kularikan kuda masin itu sekencang mungkin. Suaranya meraung,
membelah alam pegunungan. Tiba di sebuah turunan yang melengkung, aku
terperanjat. Karena, saat itu aku tengah menyelip sebuah mobil. Sebuah
Mitsubishi Kuda yang tak memberi peluang bagiku untuk menyelipnya.
Di saat yang bersamaan, dari arah berlawanan, muncul sebuah
minibus. Karena tidak berhasil melewati mobil yang aku selip, aku
membanting setir ke kanan jalan hingga terjerembab ke parit. Minibus
dari arah depan lewat. Tapi, tubuhku bersama sepeda motor terpelanting
jauh. Lalu menghantam batang pohon. Sesaat kemudian, aku sudah tak ingat
apa-apa lagi. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 14