Lelaki tanpa Matahari (14)

Ketika mataku terkuak, kutemukan tubuhku terbaring di pinggir jalan. Astaghfirullaahal’adziim… Sorot mataku mengitari beberapa siswa calon polisi yang berdiri di sekelilingku. Ya, sepeda motor yang kukendarai ternyata terjatuh persis di depan gedung Sekolah Polisi Negara, di puncak Seulawah, Aceh Besar.
Aku mencoba bangkit. Ada sedikit rasa sakit di bahu sebelah kiri. Kutemukan beberapa goresan luka di bagian tubuhku. Sebagian tergores ranting pohon. Sebagian lagi mungkin karena terseret pinggir aspal. Perlahan mulai kurasakan perih di luka-luka itu. Tapi, tetap saja aku memaksa berdiri.

“Abang gak kenapa-kenapa kan?” tanya seorang siswa polisi itu. Sedangkan beberapa temannya kulihat sedang berusaha mengangkat sepeda motorku ke badan jalan.
Aku menggeleng. “Tidak. Hanya luka-luka kecil aja ni.”
Kuperhatikan sepeda motorku. Juga tidak ada kerusakan berarti. Lalu aku mencoba menstarternya kembali. Hidup. Setelah menyampaikan terima kasih dan pamitan pada siswa-siswa polisi itu, aku meneruskan perjalanan.
Kali ini aku lebih hati-hati dalam menunggang “kuda masin” itu. Selain roda depannya memang sudah agak goyang, aku juga tidak ingin mati konyol. Sesaat, kucoba membuang bara yang sedang membakar perasaanku. Aku hanya berharap, cepat tiba di Banda Aceh sehingga bisa menumpahkan segala rasa di tempat tidur.
Sementara matahari sudah condong ke barat. Sepeda motor yang kukendarai terus merangkak. Menuruni bukit Seulawah, hingga kemudian sampai juga ke tempat tujuan. Senja dengan awan dan langit kemerah-merahan, akhirnya mengantarku ke markas baru. Sebuah rumah toko yang tidak sempat terjamah lidah tsunami, saat bencana itu meluluhlantakkan ibukota provinsi ujung barat Sumatera ini.
Dibantu beberapa teman yang sudah beberapa hari lalu tiba di Banda Aceh, aku mengoles betadine salap di tubuhku yang terluka. Perih memang. Tapi, tetap saja tidak ada apa-apanya dibandingkan “tamparan berat” yang kualami siang tadi. Tamparan yang mungkin akan mengakhiri hubunganku dengan Amelia.
Akh, mengingat semua itu semakin membuat perasaanku tak menentu. Berbagai kecamuk perasaan terus menggerogoti jiwaku. Meski malam telah merangkak jauh, aku tetap saja tidak bisa memejamkan mata. Terlebih, ketika di tengah malam pekat itu, sebuah pesan singkat dari Amelia masuk ke HP-ku.
Berita di pesan singkat itu semakin memperlebar jurang perpisahan antara aku dan Amelia. Bagaimana tidak, Amelia mengaku tidak dibolehkan kuliah lagi oleh keluarganya. Dia bahkan mengaku diancam tidak boleh ke luar rumah untuk selamanya.
Aku benar-benar kembali dihadapkan pada kenyataan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Di tengah kegalauan itu, tanpa sadar aku meraih HP dan menekan nomor kontak ibunya Amelia.
“Halo, ada apa tengah-tengah malam begini?” terdengar suara perempuan yang selama ini telah kuanggap seperti ibuku sendiri.
“Bu, biarkan Amelia meneruskan kuliahnya. Dia pasti sangat tersiksa kalau harus berhenti kuliah, bu. Tolong bu, ya…”
“Tentang Amelia, sekarang bukan urusan kamu lagi. Tolong jangan pernah ganggu kami lagi. Mau meneruskan kuliah atau tidak, itu hak kami selaku orang tuanya. Sudah jelas, kan?”
“Tapi, bu…”
“Tidak ada tapi-tapi. Udah ya, saya mau istirahat.” Telepon langsung ditutup.
Kemudian malam kurasakan begitu sepi. Aku melangkah ke teras lantai dua markasku yang baru. Kulihat langit hanya diterangi beberapa bintang pucat. Gemericik angin kemarau berusaha menghalau kecemasan di hatiku. Namun, tetap saja sia-sia. Pikiranku terus saja dibelenggu kegelisahan.
Akh, ingin rasanya kuakhiri seluruh keombang-ambingan perasaan yang mendera hati. Membunuh semua keinginan yang pernah singgah selama aku di alam ini. Lalu merajut kembali keinginan itu di alam yang lain. Sungguh, ajalku ingin segara tercabut dari tulang-tulang ringkih, mulut berbusa, dan bereinkarnasi menjadi serigala. Kemudian setiap malam purnama, aku akan melolong sepanjang trotoar atau di depan rumah perempuan-perempuan yang pernah menyambangi hatiku selama di bumi ini.
Tapi, mendadak aku merasakan ada nafas baru yang mengaliri sendi-sendi kerongkonganku. Mengembalikan pikiran jernihku untuk memaknai hidup sebagai sebuah perjuangan. Bahkan seperti ada suara lain yang ke luar dari dalam jiwaku. Suara yang mendesakku untuk tetap berjuang hingga mendapatkan kembali matahariku.
Ya. Pagi nanti aku harus kembali ke Bireuen. Menjemput bidadariku, meski harus merampasnya dari orang-orang yang menentang hubungan kami itu. Aku tak peduli, tekatku hanya satu, takkan menyerah sebelum berhasil menjadikan Amelia sebagai dermaga terakhir dalam petualanganku. Aku ingin menancapkan sauh kapalku di sana. Di hati Amelia, dengan dipayungi ikrar suci selamanya. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 15