Lelaki tanpa Matahari (15)

Gerimis jatuh satu-satu seperti salju. Tapi langit tidak tertutup mendung. Matahari yang baru beranjak dari peraduannya juga nampak utuh. Sementara “kuda mesin” yang kutunggangi meluncur mulus ke arah barat. Tujuanku hanya satu, cepat sampai di Bireuen untuk menjemput kembali matahariku.
Tidak seperti biasa, sepanjang perjalanan aku tidak singgah di tempat mana pun, meski sekedar untuk minum seperti perjalanan sebelumnya. Aku hanya ingin cepat bertemu Amelia dan merampasnya dari orang-orang yang menghalangi kebersamaan kami.

Tengah hari. Gerimis yang sempat mengiringi perjalananku telah berlalu. Matahari di atas kota Bireuen kembali menyengat. Aku membelokkan setir sepeda motorku ke utara kota Bireuen. Menelusuri jalanan bekas hantaman tsunami yang belum selesai diperbaiki.
Tiba di depan rumah Amelia, aku cepat-cepat memarkirkan sepeda motorku. Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah panggung itu, seorang perempuan yang pernah kukenal empat tahun lalu, melongokkan wajahnya lewat jendela.
“Wati…” desahku membatin.
Sesaat kemudian perempuan itu sudah berdiri di mulut pintu. “Ngapain kamu ke sini lagi?!” tanyanya setengah menghardik ketika aku sudah berdiri persis di depannya.
“Tolong mengerti kami, Wat. Aku bukan lagi Ari yang Wati kenal empat tahun lalu. Aku mencintai adikmu, sungguh Wat…”
“Tidak. Kami takkan pernah mengizinkan Amelia untuk menemuimu lagi. Sekarang tinggalkan tempat ini, atau aku berteriak maling biar orang-orang kampung menghajarmu,” ancam Wati.
Aku terdiam. Amelia dan ibunya muncul lewat pintu samping. Aku sempat menangkap gurat kepedihan di wajah matahariku yang kuning pucat. Sesaat Amelia terpaku menatapku. Sorot matanya mengisyaratkan kepedihan. Sepertinya dia ingin berlari ke pangkuanku. Namun, sulit bagi matahariku untuk melepaskan diri dari dekapan ibunya.
“Bang, lupakanlah adek. Anggap aja kita tidak pernah bertemu…” ujar Amelia tersekat serak. Lalu tangisnya tumpah. Suara isakannya terdengar semakin keras, hingga mengundang perhatian orang-orang yang lewat di jalanan depan rumahnya.
Aku hanya bisa terpaku. Aku yakin, apa yang dikatakan Amelia itu bukanlah keluar dari hati kecilnya. Bukan, aku paham betul, dia juga sangat berat untuk berpisah denganku. Tapi aku tak kuasa berbuat apa-apa. Lebih-lebih setelah Amelia dibopong kembali oleh ibunya ke dalam rumah.
“Tolong jangan lagi ganggu adikku dan segera angkat kaki dari rumah kami,” ujar Wati seraya memegang daun pintu dan hendak menutupnya.
Namun, aku cepat melompat anak tangga rumah panggung itu. Mendorong pintu rumah sambil berusaha memegang lengan Wati. “Oke. Aku bersumpah tidak akan menjumpai dan menghubungi Amelia lagi. Tapi…”
“Tapi apa?” sergahnya cepat. Dia menepis tanganku yang berusaha menggenggam lengannya.
“Biarkan Amelia tetap meneruskan kuliahnya. Ya, sekali lagi, aku bersumpah akan berusaha melupakannya. Aku akan pergi jauh dan tidak akan mengusik keluargamu lagi.”
Setelah berkata begitu, aku menuruni anak tangga dan mundur secara perlahan-lahan. Ketika daun pintu rumah itu ditutup, aku baru membalikkan badan. Lalu mengambil sepeda motor dan meninggalkan tempat itu. Sepeda motor yang kutunggangi meluncur cepat di jalanan yang berbatu dan berdebu itu. Aku berusaha membunuh rangkaian kenangan yang pernah tertancapkan di sepanjang jalan itu. Di jalanan yang sebelumnya paling sering kulalui bersama matahariku.
Aku benar-benar tak kuasa mengendalikan kecamuk perasaan yang menyesaki dada. Dalam keterombang-ambingan perasaan itu, aku berusaha bersikap tenang di atas “kuda mesin” yang kutunggangi. Aku tak ingin kecelakaan yang terjadi kemarin terulang kembali. Namun, gemuruh di dadaku tetap saja tak mau berhenti. Hingga akhirnya aku memutuskan tidak berangkat ke Banda Aceh dulu, sebelum bisa menenangkan perasaanku.
Sorenya, sebelum pulang ke rumah ibu, setengah sadar aku mendatangi tepi pantai yang sering kusinggahi bersama Amelia. Duduk menyendiri menghadap ke laut, memandang matahari yang pelan-pelan rebah ke barat. Senja dengan awan dan langit kemerah-merahan, menghadirkan beragam halusinasi di banakku. Aku memandang matahari terbenam itu seperti memandang lukisan Amelia. Semakin lama kian memudar, hingga tenggelam ke kedalaman ujung laut. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 16