Gerimis jatuh satu-satu seperti salju. Tapi langit tidak tertutup
mendung. Matahari yang baru beranjak dari peraduannya juga nampak utuh.
Sementara “kuda mesin” yang kutunggangi meluncur mulus ke arah barat.
Tujuanku hanya satu, cepat sampai di Bireuen untuk menjemput kembali
matahariku.
Tidak seperti biasa, sepanjang perjalanan aku tidak singgah di tempat
mana pun, meski sekedar untuk minum seperti perjalanan sebelumnya. Aku
hanya ingin cepat bertemu Amelia dan merampasnya dari orang-orang yang
menghalangi kebersamaan kami.
Tengah hari. Gerimis yang sempat mengiringi perjalananku telah
berlalu. Matahari di atas kota Bireuen kembali menyengat. Aku
membelokkan setir sepeda motorku ke utara kota Bireuen. Menelusuri
jalanan bekas hantaman tsunami yang belum selesai diperbaiki.
Tiba di depan rumah Amelia, aku cepat-cepat memarkirkan sepeda
motorku. Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah panggung itu, seorang
perempuan yang pernah kukenal empat tahun lalu, melongokkan wajahnya
lewat jendela.
“Wati…” desahku membatin.
Sesaat kemudian perempuan itu sudah berdiri di mulut pintu. “Ngapain
kamu ke sini lagi?!” tanyanya setengah menghardik ketika aku sudah
berdiri persis di depannya.
“Tolong mengerti kami, Wat. Aku bukan lagi Ari yang Wati kenal empat tahun lalu. Aku mencintai adikmu, sungguh Wat…”
“Tidak. Kami takkan pernah mengizinkan Amelia untuk menemuimu lagi.
Sekarang tinggalkan tempat ini, atau aku berteriak maling biar
orang-orang kampung menghajarmu,” ancam Wati.
Aku terdiam. Amelia dan ibunya muncul lewat pintu samping. Aku sempat
menangkap gurat kepedihan di wajah matahariku yang kuning pucat. Sesaat
Amelia terpaku menatapku. Sorot matanya mengisyaratkan kepedihan.
Sepertinya dia ingin berlari ke pangkuanku. Namun, sulit bagi matahariku
untuk melepaskan diri dari dekapan ibunya.
“Bang, lupakanlah adek. Anggap aja kita tidak pernah bertemu…” ujar
Amelia tersekat serak. Lalu tangisnya tumpah. Suara isakannya terdengar
semakin keras, hingga mengundang perhatian orang-orang yang lewat di
jalanan depan rumahnya.
Aku hanya bisa terpaku. Aku yakin, apa yang dikatakan Amelia itu
bukanlah keluar dari hati kecilnya. Bukan, aku paham betul, dia juga
sangat berat untuk berpisah denganku. Tapi aku tak kuasa berbuat
apa-apa. Lebih-lebih setelah Amelia dibopong kembali oleh ibunya ke
dalam rumah.
“Tolong jangan lagi ganggu adikku dan segera angkat kaki dari rumah
kami,” ujar Wati seraya memegang daun pintu dan hendak menutupnya.
Namun, aku cepat melompat anak tangga rumah panggung itu. Mendorong
pintu rumah sambil berusaha memegang lengan Wati. “Oke. Aku bersumpah
tidak akan menjumpai dan menghubungi Amelia lagi. Tapi…”
“Tapi apa?” sergahnya cepat. Dia menepis tanganku yang berusaha menggenggam lengannya.
“Biarkan Amelia tetap meneruskan kuliahnya. Ya, sekali lagi, aku
bersumpah akan berusaha melupakannya. Aku akan pergi jauh dan tidak akan
mengusik keluargamu lagi.”
Setelah berkata begitu, aku menuruni anak tangga dan mundur secara
perlahan-lahan. Ketika daun pintu rumah itu ditutup, aku baru
membalikkan badan. Lalu mengambil sepeda motor dan meninggalkan tempat
itu. Sepeda motor yang kutunggangi meluncur cepat di jalanan yang
berbatu dan berdebu itu. Aku berusaha membunuh rangkaian kenangan yang
pernah tertancapkan di sepanjang jalan itu. Di jalanan yang sebelumnya
paling sering kulalui bersama matahariku.
Aku benar-benar tak kuasa mengendalikan kecamuk perasaan yang
menyesaki dada. Dalam keterombang-ambingan perasaan itu, aku berusaha
bersikap tenang di atas “kuda mesin” yang kutunggangi. Aku tak ingin
kecelakaan yang terjadi kemarin terulang kembali. Namun, gemuruh di
dadaku tetap saja tak mau berhenti. Hingga akhirnya aku memutuskan tidak
berangkat ke Banda Aceh dulu, sebelum bisa menenangkan perasaanku.
Sorenya, sebelum pulang ke rumah ibu, setengah sadar aku mendatangi
tepi pantai yang sering kusinggahi bersama Amelia. Duduk menyendiri
menghadap ke laut, memandang matahari yang pelan-pelan rebah ke barat.
Senja dengan awan dan langit kemerah-merahan, menghadirkan beragam
halusinasi di banakku. Aku memandang matahari terbenam itu seperti
memandang lukisan Amelia. Semakin lama kian memudar, hingga tenggelam ke
kedalaman ujung laut. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 16