Wartawan dan Kutu Busuk (Tulisan Lama)



Sungguh naas dan memalukan bagi kami, terlebih bagi para kepala Puskesmas yang berhasil “diperas” oknum wartawan, yang membawa-bawa nama Harian Aceh. Wartawan Saf, alias Iwan, berhasil menilep jutaan rupiah dari kepala Puskesmas di Banda Aceh dan Aceh Besar. Bahkan, mungkin dari pihak-pihak lain yang tidak kita ketahui.

Kami yang ingin mengubah serta berupaya meninggikan citra dan martabat wartawan justru yang sasaran pencatutan nama. Memang, sejak semula banyak yang meragukan tekad kami. Harian Aceh dianggap akan sama dengan media “kacangan”, mentang mentang kami lahir dari “perut ibu” Aceh asli, dengan “bidan kampung”, bukan di atau dari “RS ternama”. Kami yang hanya punya tekad, mungkinkah bertahan di tengah kejamnya kepalsuan, sirik khianat, dan tipu muslihat di zaman ini?


Bukan sekedar basa-basi, kami hadir dengan idealisme tinggi ingin memperbaiki negeri ini, mental anak negeri ini, sekecil apapun. Bila kami hanya menjadi domplengan parasit seperti wartawan di atas, lebih baik Harian Aceh mati. Makanya jurnalis kami muda-muda, bahkan banyak yang masih kuliah, dengan tekad sama. Bila mereka jadi parasit pemeras, maka Andalah, pembaca kami, yang harus mengawasi, dan bila perlu “membredel” koran ini.

Pertanyaannya, mengapa para pejabat seolah takut dan gampang sekali “ditekan” wartawan seperti Saf itu? ”Orang takut sama wartawan bang, apalagi pejabat,” kata seorang personil Polri, yang kami lapori kejadian memalukan itu.

Selama ini, media menulis oknum TNI, oknum Polri, oknum KPA, oknum pejabat, apakah mungkin tidak ada oknum wartawan? Mestinya memang ada. Apalagi banyak yang takut pada wartawan, yang punya “kuku” seperti Saf. Anehnya, wartawan seperti ini biasanya lebih banyak tahu “lika-liku” kejahatan “kerah putih” apalagi “kerah hitam” yang licin bagai belut.

Mereka biasanya amat lekat dengan pejabat tertentu, yang akrab sekaligus “takut” karena menyimpan kebusukan di lingkungannya, atau di dirinya sendiri. Kedua duanya sebenarnya tidak lebih dari pengecut dan pengkhianat reformasi, pengkhianat hukum dan negara ini!

Kita sendiri selama ini telah menjadi bagian yang ikut merusak negeri ini, sekecil apapun, walau mengaku seidealis apapun. Mulut boleh berkata apa saja, tulisan boleh sekukuh apa saja, orasi bak pahlawan pembela kebenaran, tapi banyak pula yang kita lihat wartawan hingga “tokoh reformis” yang akhirnya tidak lebih seorang oportunis yang munafik! Penuh tipu muslihat dan hanya tahu dirinya saja yang serba baik dan benar. Mereka tidak berbeda dengan Saf. Mereka juga “pemeras”, pengemis, dan lebih hina dari gelandangan. Pantas saja, rakyat tidak lagi tahu percaya sama siapa lagi, saat ini. Kami juga sudah kurang percaya, karenanya mungkinkah kami bisa berbuat “sesuatu”? Idealisme kami yang terlalu tinggi dan mustahil dicapai di zaman ini, pasti akan menguburkan hidup kami. (Realiatanya memang demikian, sekarang  sudah ada jawabannya. Harian Aceh tutup buku—pen).

Dengan wartawan yang masih muda-muda, kami takut pula suatu saat mereka juga akan terbawa zaman, tersilap. Maka tolonglah, bila kami masih bisa terus hidup, awasilah kami. Wartawan bukan orang yang kebal segalanya, wartawan jauh dari tokoh suci atau sebaliknya preman yang menakutkan.

Kami warga negara biasa, yang memberitakan apa adanya. Sebuah kebenaran bila itu memang benar, dan memberitakan pelanggaran bila itu salah, dengan berimbang. Kadang kami berbuat salah, bila itu salah pasti kami sadari dan kami perbaiki secepat kami mampu. Semoga kesalahan itu bisa dihindari, apalagi kesalahan setingkat yang dilakukan oknum Saf itu. Bila itu terjadi, kami akan berhenti berkoar-koar, kami berhenti membagi ilmu, kami akan berhenti karena malu, khususnya karena mengkhianati hati nurani kami sendiri.

Toh, ada atau tanpa kami pun, hidup akan berjalan terus, bumi terus berputar, dengan sedikit cahaya dan banyak muraman atau sebaliknya silih berganti. Kami mungkin hanya sebuah lilin kecil di tengah angin prahara. Tapi sebelum padam, kami ingin ikut terbakar bersama satu-dua ekor “kutu busuk” yang menyemakkan huma Aceh ini. Bila kutu busuk yang terbakar lebih banyak, mungkin kami akan hidup dengan serangga itu sebagai bahan bakarnya.

Kami melihat begitu banyak kutu busuk, bahkan amat dekat dengan kami. Entah lilin kecil ini akan dipenuhi kutu busuk sehingga ia mati sendiri, atau mereka akan menjadi bahan bakar bagi kami. Entah mana yang lebih baik, Andalah yang menentukan, pembaca dan relasi kami. (Ini tulisan lama, sekedar mengenang perjuangan saya dan rekan-rekan saat membungun Harian Aceh selama lima tahun lebih)