Dalam hidup, siapapun
kita akan selalu berhadapan dengan tenggat waktu atau deadline. Ada yang
dikejar deadline pekerjaan kantor,
tugas-tugas sekolah atau kampus, serta urusan-urusan lain yang harus
diselesaikan dalam limit waktu tertentu.
Bagi pekerja media
(wartawan, rekdaktur hingga pemimpin redaksi), deadline menjadi kata kunci yang harus dimaknai sebagaimana arti
sesungguhnya dari kata tersebut. “Dead = mati” dan “line = garis” atau bila
digabung menjadi “garis mati”. Intinya, garis yang bila dilewati oleh seorang
pekerja media akan mematikan tugas dan kewajiban yang diembannya. Karena itu,
mereka harus selalu memenuhi deadline sebagai konsekwensi pekerjaan.
Sayangnya, banyak
pekerja media yang memaknai deadline
sebagai sesutu yang menyebalkan. Bahkan ada yang memplesetkan arti deadline menjadi “barisan orang mati”,
sehingga sebisa mungkin mereka berupaya menghindari keterikatan dengan deadline.
Namun, tidak sedikit
pula pekerja media yang memaknai deadline
sebagai sumber kekuatan yang membuatnya bisa terus berkarya dan berkibar
bersama media tempat dirinya bekerja. Makanya, lahir pula istilah “Power of
Deadline” di kalangan wartawan dan penulis.
Syukur, saya
ditakdirkan berada di barisan pekerja media yang memaknai deadline sebagai sumber kekuatan, sehingga saya masih bisa eksis di
dunia kewartawanan sampai sekarang. Bagi saya, deadline tidak saja sebagai pemacu semangat untuk menulis secara
terus menerus. Lebih dari itu, deadline
juga saya maknai sebagai anak tangga menuju surga; “Deadline = Stairway to
Heaven”. Kok bisa? Baca tuntunan deadline di postingan berikutnya.
***
Setiap Koran Harian
yang tidak memiliki stok laporan investigasi akan kalang kabut saat menghadapi
hari-hari peceklik berita—layak jual—yang akan menjadi headline dan second
headline di halaman pertama. Ada kalanya hingga rapat budgeting (rapat redaksi
untuk menentukan berita layak tayang), tidak satu pun berita hasil proyeksi (dalam
rapat pagi) yang masuk ke meja redaksi. Kondisi ini bisa disebabkan para
wartawan yang ditunjuk tidak berhasil menembus nara sumber, biasa juga akibat
perencanaan yang kurang matang sehingga wartawan kesulitan menggarap berita
yang ditugaskan.
Kenyataan semacam ini
kerap menimpa saya ketika memimpin Koran Harian; Harian Aceh dan Pikiran
Merdeka. Karena bukan media mapan secara financial dan wartawan yang rata-rata direkrut
dari nol, saya sudah terbiasa menghadapi hari-hari peceklik berita di saat
tidak ada insiden yang menghebohkan. Ini bukan berarti Harian Aceh dan Pikiran
Merdeka hanya mengandalkan berita insidentil, tapi terkadang kita kehabisan
stok laporan in-depth reporting justru di saat wartawan tidak berhasil memenuhi
tugas-tugas yang disepakati dalam rapat proyeksi.
Solusi mengahadapi
persoalan itu? Ya, hanya keajaiaban deadline
yang membuat koran saya bisa terbit setiap hari—semasa HA dan PM masih on time—dengan
berita-berita yang layak jual. Caranya? Baca penggalan kisah melewati masa-masa krisis jelang
deadline di postingan berikutnya.Bersambung ke Deadline = Stairway to Heaven (2)