Deadline = Stairway to Heaven (1)



Dalam hidup, siapapun kita akan selalu berhadapan dengan tenggat waktu atau deadline. Ada yang dikejar deadline pekerjaan kantor, tugas-tugas sekolah atau kampus, serta urusan-urusan lain yang harus diselesaikan dalam limit waktu tertentu.

Bagi pekerja media (wartawan, rekdaktur hingga pemimpin redaksi), deadline menjadi kata kunci yang harus dimaknai sebagaimana arti sesungguhnya dari kata tersebut. “Dead = mati” dan “line = garis” atau bila digabung menjadi “garis mati”. Intinya, garis yang bila dilewati oleh seorang pekerja media akan mematikan tugas dan kewajiban yang diembannya. Karena itu, mereka harus selalu memenuhi deadline sebagai konsekwensi pekerjaan.
Sayangnya, banyak pekerja media yang memaknai deadline sebagai sesutu yang menyebalkan. Bahkan ada yang memplesetkan arti deadline menjadi “barisan orang mati”, sehingga sebisa mungkin mereka berupaya menghindari keterikatan dengan deadline

Namun, tidak sedikit pula pekerja media yang memaknai deadline sebagai sumber kekuatan yang membuatnya bisa terus berkarya dan berkibar bersama media tempat dirinya bekerja. Makanya, lahir pula istilah “Power of Deadline” di kalangan wartawan dan penulis. 

Syukur, saya ditakdirkan berada di barisan pekerja media yang memaknai deadline sebagai sumber kekuatan, sehingga saya masih bisa eksis di dunia kewartawanan sampai sekarang. Bagi saya, deadline tidak saja sebagai pemacu semangat untuk menulis secara terus menerus. Lebih dari itu, deadline juga saya maknai sebagai anak tangga menuju surga; “Deadline = Stairway to Heaven”. Kok bisa? Baca tuntunan deadline di postingan berikutnya.

***

Setiap Koran Harian yang tidak memiliki stok laporan investigasi akan kalang kabut saat menghadapi hari-hari peceklik berita—layak jual—yang akan menjadi headline dan second headline di halaman pertama. Ada kalanya hingga rapat budgeting (rapat redaksi untuk menentukan berita layak tayang), tidak satu pun berita hasil proyeksi (dalam rapat pagi) yang masuk ke meja redaksi. Kondisi ini bisa disebabkan para wartawan yang ditunjuk tidak berhasil menembus nara sumber, biasa juga akibat perencanaan yang kurang matang sehingga wartawan kesulitan menggarap berita yang ditugaskan.

Kenyataan semacam ini kerap menimpa saya ketika memimpin Koran Harian; Harian Aceh dan Pikiran Merdeka. Karena bukan media mapan secara financial dan wartawan yang rata-rata direkrut dari nol, saya sudah terbiasa menghadapi hari-hari peceklik berita di saat tidak ada insiden yang menghebohkan. Ini bukan berarti Harian Aceh dan Pikiran Merdeka hanya mengandalkan berita insidentil, tapi terkadang kita kehabisan stok laporan in-depth reporting justru di saat wartawan tidak berhasil memenuhi tugas-tugas yang disepakati dalam rapat proyeksi. 

Solusi mengahadapi persoalan itu? Ya, hanya keajaiaban deadline yang membuat koran saya bisa terbit setiap hari—semasa HA dan PM masih on time—dengan berita-berita yang layak jual. Caranya? Baca penggalan kisah melewati masa-masa krisis jelang deadline di postingan berikutnya.Bersambung ke Deadline = Stairway to Heaven (2)