Dari ‘Ayam Potong’ hingga ‘Ayam Lepas’

Layaknya menu makanan, praktik prostitusi di Kabupaten Bireuen dilakoni para ‘ayam potong’ dan ‘ayam lepas’. Selain jaringan bisnis seks yang terkoordinir seperti kasus ‘Mister Bro’, juga bisa dijumpai oknum wanita penjaja cinta jalanan secara freelance.

Di sebuah kafe penyedia layanan wifi di seputaran Kota Bireuen, awal bulan lalu. Kala itu, malam belum begitu larut. Setidaknya, belum menunjukkan pukul 00.00 Wib dinihari. Hanny, bukan nama sebenarnya, terus mempelototi layar laptop mungil miliknya.
Waria yang bekerja di sebuah salon itu terus berselancar di browser internet. Dia membuka sejumlah website tentang modeling dan gaya rambut. Di lain waktu, Hanny membuka layanan chat facebook dan ber-chatting-ria dengan teman-temannya.
“Dulu, jam-jam seperti ini telepon saya sebentar-sebentar berdering. Banyak yang minta dicarikan teman kencan,” tutur Hanny, mengenang masa-masa saat dirinya masih terlibat jaringan penjaja cinta semalam. “Tapi, dunia itu telah lama saya tinggalkan,” tambahnya.
Diakui Hanny, selain bekarja sebagai penata rias, dirinya juga sempat menjadi mucikari dengan mengelola sejumlah wanita nakal. “Wanita binaan saya dulu dari berbagai kalangan. Mulai pelajar hingga mak-mak yang siap meladeni lelaki hidung belang,” kisahnya.
Namun, kata dia, kebanyakan wanita binaannya hanya mau berkencan kalau sedang butuh uang. “Mereka bahkan tidak mau keluar malam selagi masih ada stok uang,” sebutnya.
Hanny bercerita, para wanita itu dia rekrut melalui obrolan santai saat mereka creambath atau facial di salon tempatnya bekerja. “Dari sekian banyak wanita yang saya beri bayangan cara mengatasi persoalan ekonomi, beberapa orang di antaranya berhasil saya gaet sebagai ‘ayam’ binaan saya,” ungkap waria yang kini mengaku menyesal telah menjerumuskan sejumlah wanita ke lembah hitam.
Kebanyakan wanita mantan binaannya, sambung Hanny, semula memang terkesan tidak tertarik dengan tawarannya. Namun belakangan justru mereka yang kembali mendatanginya, karena terdesak kebutuhan biaya hidup. “Ini terutama wanita yang sudah terlanjur terjebak gaya hidup hedoisme, bermewah-mewah di kampus atau di lingkungan masyarakat,” katanya.
Dalam menjalankan bisnis haram itu, hubungan Hanny dan para wanita binaannya tidak terikat. “Saya hanya perantara. Biasanya, kalau mereka butuh uang akan menghubungi saya. Begitu juga sebaliknya, kalau ada lelaki hidung belang yang minta dicarikan teman kencan, saya akan menghubungi salah satu dari mereka,” paparnya.
Setiap transaksi yang telah disepakati kedua belah pihak, kata Hanny, dirinya hanya mendapat 20 persen dari total biaya layanan yang diterima wanita binaannya. “Ada juga pelacur yang mangkir, sehingga kadangkala saya tidak mendapatkan apa-apa,” katanya. Untuk persoalan yang satu ini, tanpa sadar Hanny menyebut pelacur kepada wanita binaannya.
Menurut Hanny, rata-rata ‘pasiennya’ adalah lelaki hidung belang di seputaran Kabupaten Bireuen. “Bahkan, kalau saya sebutkan namanya pasti orang-orang akan bilang tidak mungkin. Tapi, tak etis saya sebutkan namanya. Siapa tahu ‘orang terhormat’ tersebut juga sudah insaf dan sudah bertobat seperti saya,” katanya.
Waria yang kini sudah mengubah penampilan layaknya lelaki sejati ini menambahkan, di seputaran Kabupaten Bireuen juga beroperasi sejumlah wanita penjaja cinta jalanan yang biasa disebutnya ‘ayam lepas’. “Jadi, tidak hanya wanita penjaja cinta yang terkoordinir. Ada juga yang beroperasi sendiri-sendiri secara lepas,” sebut Hanny.
Menurut dia, wanita-wanita itu biasanya mengincar para pengguna jalan yang mengendarai mobil pribadi. “Biasanya berdiri di pinggir jalan dan berpura-pura sebagai penumpang yang lagi menunggu angkutan umum,”  imbuh Hanny.
Bukan sekedar pengembang cerita, perkataan Hanny itu memang terbukti benar. Berkali-kali KoranBireuen memergoki seorang wanita berdiri di beberapa lokasi pinggir jalan negara. Sekilas, wanita itu seperti sedang terburu-buru hendak bepergian ke suatu tempat yang harus menggunakan angkutan umum.
Setelah sekian lama diperhatikan, beberapa minibus L-300 yang melintas di depannya, tapi dia diam saja dan tidak menyetopnya. Padahal, kebanyakan angkutan umum melambatkan laju kendaraanya saat melintasi jalanan di depan wanita itu berdiri. Beberapa tukang RBT yang menanyakan mau pulang ke mana, juga tidak digubrisnya. Wanita itu malah asyik memperhatikan kiri-kanan jelaga jalanan, seolah ada kendaraan khusus yang ditunggunya.
Lima belas menit berlalu. Sebuah mobil pribadi meluncur dengan kecepatan sedang dari arah barat. Mobil itu berhenti mendadak sekitar 20 meter dari tempat wanita itu berdiri. Tanpa dipanggil, wanita berpakaian muslimah itu menghampirinya. Sesaat terjadi percakapan antara wanita itu dengan sopir yang hanya seorang diri di mobil itu. Lalu, pintu kiri mobil dibuka. Sambil mengumbar sedikit senyum, wanita itu masuk ke mobil dan berlalu di kegelapan malam yang baru saja menyelimuti bumi.
Berselang beberapa hari, wanita yang sama kembali terlihat berdiri di pinggir jalan, di lokasi berbeda yang masih di seputaran Kabupaten Bireuen. Gayanya sama seperti saat terlihat di lokasi sebelumnya. Namun kali ini, setelah menghampiri dua mobil pribadi yang berhenti di dekatnya, wanita itu tidak juga menumpangi mobil tersebut.
Saat itu, malam baru saja menderas. Waktu magrib baru setengah jam berlalu. KoranBireuen mencoba mendekati wanita berusia sekitar 30-an tahun itu. Berkali-kali diajak bicara, dia tak menggubrisnya. Setelah sejumlah jurus basa-basi dikeluarkan, akhirnya wanita itu mau melayani pembicaraan.
Awalnya, dia mengaku hendak menjenguk anaknya yang mondok di sebuah dayah terpadu. “Tapi saya takut naik angkutan umum malam-malam sendirian, makanya saya tunggu mobil teman yang akan melintas ke sana,” tuturnya.
Sekilas, apa yang dikatakannya itu bisa dipercaya. Apalagi penampilan wanita yang mengaku bernama Shanti itu, berbusana seperti kebanyakan perempuan Aceh. Jilbab yang dikenakannya terjuntai lebar hingga menutupi dada. Celana kain yang dipadukan baju gamis juga agak longgar, sehingga tidak menampakkan bentuk tubuhnya.
Tidak terkesan wanita nakal dari cara dia berpakaian. Namun, mendadak dia tersentak, ketika KoranBireuen menyebut, pernah berkali-kali memergokinya menumpang mobil pribadi. Setelah dibujuk, akhirnya wanita itu bersedia menceritakan kehidupan kelam yang terpaksa dijalaninya.
Bertempat di sebuah warung bakso yang tak jauh dari lokasi tadi. Shanti mengaku, terpaksa menggeluti dunia hitam karena terdesak kebutuhan hidup dirinya dan dua buah hatinya. “Sudah setahun saya menjanda. Setelah bercerai, mantan suami saya kembali ke kampungnya di Sumatera Utara. Sementara dua anak kami tetap tinggal bersama saya,” sebut Shanti, mengenang perjalanan rumah tangganya yang hancur.
Sejak itu, kata dia, dirinya harus menghidupi kedua anaknya yang sudah memasuki usia sekolah. “Bapaknya tidak pernah mengirimkan biaya, padahal anak tertua saya masuk SD tahun lalu,” katanya.
Setelah sempat berhari-hari kesulitan memenuhi kebutuhan makan bagi dirinya dan dua anaknya, papar Shanti, secara kebetulan dia bertemu teman semasa SMA. “Wanita teman saya itu, ternyata sempat mengalami nasib seperti saya. Tapi setelah ‘turun ke jalan’ dia bisa kembali hidup mapan,” kisahnya.
Shanti pun kemudian dibimbing temannya tersebut untuk menjadi wanita jalanan. “Berkat arahan teman saya itu, saya kini berhasil mempraktekkan berbagai trik yang tidak mencurigakan dalam menggaet lelaki hidung belang,” tambahnya.
Hasil yang diperoleh Shanti dari setiap transaksi yang dijalaninya, lumayan besar. Dalam sekali jalan bisa menghasilkan uang ratusan ribu rupiah. Bahkan, ada yang sampai jutaan rupiah. “Itu kalau kebetulan naik mobil bapak-bapak yang membawa saya hingga ke Medan,” katanya.
Menyangkut dua mobil yang tidak jadi ditumpanginya tadi, kata Shanti, karena di kedua mobil itu terdapat lebih dari seorang pria. “Saya tidak pernah naik mobil yang lebih dari satu penghuninya. Takut digilir,” katanya, sedikit malu-malu.
Menurut Shanti, yang menjalani pekerjaan seperti itu di Bireuen tidak hanya dirinya. “Ada beberapa wanita lain yang juga asal Kabupaten Bireuen. Tapi, wilayah operasionalnya sering berpindah-pindah, dari kota ke kota lainnya di Aceh,” jelas wanita asal sebuah gampong pedalaman di Kabupaten Bireuen yang kini mengaku mengontrak rumah di perkotaan.
Meski sampai sekarang belum berhenti mengarungi hidup di lembah hitam, Shanti mengaku setiap saat dirinya merasa dikejar-kejar dosa. “Terkadang saya ingin segera mengakhiri kehidupan kelam ini, bahkan sudah pernah sebulan lebih saya tidak beroperasi. Tapi, biaya hidup yang tinggi dan tidak ada pekerjaan lain, kembali memaksa saya harus berkeliaran di jalanan,” katanya.
Sambil menyeka air mata di pipinya, Shanti melanjutkan, “Semoga Tuhan cepat membuka pintu rezeki yang halal bagi saya, sehingga saya bisa keluar dari lumpur dosa ini.”
Ya, semoga wanita-wanita yang terlanjur menjalani kehidupan kelam seperti Shanti ini, segera mendapatkan petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar. Jangan sampai para wanita itu selamanya harus mengorbankan diri, hanya untuk menyelamatkan kehidupan anak-anak mereka yang terhimpit kemiskinan.(Ariadi B Jangka)