Tetesan Rupiah di Ujung Purih

Bulir-bulir embun masih lengket di dedaunan. Di ufuk timur, matahari baru saja memancarkan sinar keputihan ketika langkah Abdul Djalil berkelebat lincah di jalan setapak. Sesekali, warga Gampong Alue Peuno, Kecamatan Peusangan itu, menyibak ilalang yang menghalangi langkahnya.

Langkah Abdul Djalil terhenti ersis di depan deretan bak jok (pohon aren atau enau) yang dikelilingi belukar kecil. Dia menengadah. Sorot matanya tertuju ke tahang atau pacok (batang bambu ukuran semeter untuk menampung tetesan air nira) yang tergantung di kelopak bak jok.
Lelaki berusia 60-an itu meleta-kkan jiregen bawaannya di semak-semak. Dengan lincah, kakinya menaiki anak-anak purih (batang bambu berpangkal ranting untuk pijakan kaki) yang ditegakkan di pohon aren. Tiba di ujung purih, perlahan Abdul Djalil melepaskan ikatan pacok dan menurunkannya ke dekat jiregen ukuran 30 liter. Air yang terkumpul di pacok dituangkan ke jiregen. Kemudian, dia menaikkan lagi pacok itu ke tempat semula.
Purih dipindahkan. Tanpa me-nunggu lama, Abdul Djalil menaiki pohon aren berikutnya. Prosesnya sama. Ada lima pohon aren yang ia naiki pagi itu. Dari lima pacok, ter-kumpul satu jerigen ie jok (air nira).
“Alhamdulillah, ada satu jerigen ie jok pagi ini,” kata Abdul Djalil sambil menarik nafas dalam-dalam. “Mudah-mudahan, siang dan sore nanti juga bisa terkumpul ie jok seperti pagi ini.”
Pohon aren mempunyai kelopak bunga jantan dan bunga betina. Kedua bunga dapat disadap niranya. Namun, menurut Abdul Djalil, dirinya hanya menyadap kelopak bunga jantan karena jumlah dan mutu ie jok yang dihasilkan lebih memuaskan diban-ding bunga betina.
Dikatakannya, antara bunga jantan dan bunga betina sangat mudah dibedakan. “Kelopak bunga jantan lebih pendek dari bunga betina. Panjang bunga betina sekitar 50 centimeter, sedangkan bunga betina mencapai 175 centimeter,” sebut Abdul Djalil.
Kelopak bunga jantan aren, tambah Abdul Djalil, hanya dapat disadap airnya saat sudah menge-luarkan benang sari. “Saat serbuk sari yang berwarna kuning mekar dan meng-hamburkan, baru bisa disadap airnya. Jadi, tidak bisa disadap setiap saat. Makanya harus banyak pohon aren yang kita miliki agar bisa menggilir menyadapnya,” sebut Djalil sambil menunjuk sejumlah pohon aren yang ditanam berjejer di kebunnya.
Sebelum menyadap, kelopak bunga jantan terlebih dahulu dimemarkan dengan memukul-mukulnya. “Ini harus kita lakukan selama beberapa hari, hingga keluar cairan dari dalam tandan,” sebut pria yang biasa disapa Nekdo ini.
Tandan aren kemudian dipotong dan di ujungnya digantungkan pacok untuk menampung cairan yang menetes. “Dari pacok inilah saya mengambil ie jok tiga kali dalam sehari,” tambahnya.
Kebun aren Abdul Djalil hanya berjarak sekitar setengah kilometer dari rumahnya. Kebun itu terkesan angker karena batang-batang pohon jenis palma yang terkenal dengan nama latin arenga pinnata ini, memiliki jambul hitam yang menakutkan.
Menurut Abdul Djalil, dirinya sudah melakoni pekerjaan tersebut sejak lima tahun terakhir. “Bukan hanya pagi, saya juga mengambil ie jok pada siang dan sore hari,” katanya.
Dari tiga kali pengambilan itu, sebut Abdul Djalil, setiap hari dirinya bisa mengumpulkan sekitar 70 botol (ukuran sedang) ie jok. “Namun saya memasarkannya secara bertahap. Sepulang mengam-bil ie jok, langsung saya bawa ke langganan. Ie jok pagi, pagi itu juga saya bawa. Begitu juga ie jok siang. Sementara ie jok sore, baru saya bawa bakda magrib,” jelasnya.
Abdul Djalil punya banyak lang-ganan. Dia hanya mengantar sesuai jadwal dengan harga Rp5.000 per botol. Sepeda motor keluaran tahun 80-an jadi tunggangan setia Abdul Djalil untuk sampai tepat waktu pada pelanggannya. “Ada yang minta diantar pagi, ada yang siang, dan ada yang minta diantar sehabis ma-grib. Jadi, selalu ie jok segar yang sampai ke tangan konsumen,” katanya.
Sekarang, kebanyakan warga di Peusangan dan sekitarnya sudah tahu betul khasiat ie jok yang bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Hal ini pula yang membuat Abdul Djalil memiliki banyak langganan, sehingga tidak perlu bersusah-payah memasarkan ie jok yang dipro-duksinya.
Berdasarkan pengalaman para pelanggannya, lanjut Abdul Djalil, ie jok bisa mengurangi batuk, menu-runkan demam, mencuci buah pinggang, dan memecahkan batu karang. “Ie jok juga bisa mem-perlancar peredaran darah, meng-hilangkan pegal-pegal dan melan-carkan ASI bagi wanita yang melahir-kan,” paparnya.
Dia menjelaskan, dirinya bela-kangan ini juga mengumpulkan berbagai guntingan media cetak yang memuat pemberitaan tentang air nira. “Jadi, sedikit banyaknya saya sudah bisa menjelaskan khasiat ie jok kepada konsumen. Dan, khasiat itu sudah terbukti. Banyak pelanggan saya yang mengakuinya,” sebut Abdul Djalil.
Sebagai penderes ie jok, pundi-pundi rupiah yang mengalir ke kantong Abdul Djalil melebihi gaji kepala dinas di pemerintahan tingkat kabupaten. Setiap hari Abdul Djalil bisa menghasilkan Rp350 ribu atau rata-rata Rp10,5 juta per bulan.
Angka itu cukup fantastis untuk ukuran penghasilan masyarakat gampong. Lebih-lebih di tengah sempitnya lapangan kerja bagi masyarakat di pedesaan. Beruntung, Abdul Djalil yang dulunya hanya petani berpenghasilan pas-pasan, kini berubah jadi seorang jutawan. Dalam pacok di ujung purih-nya, terus menetes pundi-pundi rupiah.(Ariadi B Jangka)