Bakda magrib. Kami
berkumpul di meja rapat. Sejenak aku tengadah ke langit-langit kantor, sekedar
mencari kata yang tepat untuk membuka rapat budgeting di malam itu.
Kejengkelan memang
sedang menderaku setelah membaca listing berita dan membuka semua e-mail dari
wartawan yang masuk ke redaksi. Semuanya nol besar. Jangankan untuk berita headline,
untuk berita yang kira-kira layak diangkat di halaman depan pun tak ada.
“Oke, langsung saja ke
intinya. Redaktur kota, (berita) apa yang bisa Anda sodorkan untuk (halaman)
depan,” tanyaku sambil memainkan ujung pena di form listing.
Redaktur kota membolak
balik listing berita. Dia menggeleng. “Untuk headline halaman Banda (rubrik kota)
saja tak ada. Bahkan, berita yang masuk tak mampu meneutupi halaman Banda,”
sebutnya sambil tertunduk.
“Redaktur Birpas?” tanyaku,
setelah mengalihkan pandangan ke Redaktur Rubrik Bireuen-Pase.
Dia membaca daftar
semua berita yang masuk dari wartawan wilayah liputan Bireuen, Lhokseumawe, dan
Aceh Utara. “Semuanya berita biasa yang dangkal. Tak ada yang layak untuk
halaman depan,” kata Redaktur Birpas.
Beralih ke Redaktur
Pidie Raya, Daerah, dan pemegang rubrik lainnya. Semua memberi jawaban serupa. “Idem,”
katanya. “Tak satu berita pun layak disodorkan ke halaman depan.”
Seperti biasa. Bila
sudah begini, bahasa ”inggris” khas Aceh pun meluncur deras dari bibirku. Sasarannya,
ya wartawan di lapangan dan sesekali menyindir redaktur yang tidak mampu
mengarahkan wartawanya untuk membuat berita-berita ‘layak jual’.
Ruangan rapat mendadak
mencekam. Omelanku terhenti. Suasana berubah senyap. Enam redaktur plus para layoter yang duduk
di hadapanku mengunci bibirnya rapat-rapat. Detik demi detik berlalu dalam diam. Yang
terdengar hanya suara ketukan penaku ke meja rapat.
Sesaat kemudian, aku
bangkit dari duduk. Lagi-lagi, bila kondisi berita semacam ini, aku hanya
menutup rapat budgeting dengan menghantamkan telapak tangan ke meja rapat dan
berlalu ke ruangan kerja.
Para redaktur juga
kembali ke meja kerja masing-masing. Dalam hati (mungkin) mereka nyelutuk, “jra
neuh han Bang Billy (sapaan untukku di kantor).” Atau juga hanya senyum-senyum dalam hati,
karena mereka dapat memastikan tidak mungkin aku membiarkan koran naik cetak
dengan kondisi halaman depan ‘putih’.
Untuk mengetahui cara mereka menanggapi omelanku saat peceklik berita, tanyakan langsung pada
mantan redakturku; Iskandar Norman, Roni Purnama, Tayeb Loh Angen, Herman RM,
Makmur Dimila, Juli Amin, atau mantan Redpel Harian Aceh Taufik Al Mubarak. He…he…
Lalu bagaimana aku
mendapatkan berita ‘layak jual’ untuk memenuhi alokasi halaman depan, terutama
untuk headline dan second headline sehingga koran layak terbit? Baca di postingan
mendatang! (Bersambung)
Sebelumnya:
Deadline = Stairway to Heaven (1)