Penolakan terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60
Tahun 2016 tentang perubahan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
menggema di seluruh Indonesia. Pemberlakuan peraturan pengganti PP No.50/2010 tersebut
dinilai sangat memberatkan rakyat, karena meningkatnya biaya administrasi Buku
Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).
Terlebih, perubahan tarif itu bersamaan dengan kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Petralite dan Pertamax, serta pencabutan
subsidi Tarif Dasar Listrik (TDL) 900 VA. Semua ini menjadi kado pahit yang
harus diterima rakyat di awal tahun 2017.
Banyak pihak berasumsi, kenaikan PNBP sebagai upaya
pencapaian target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Pemerintah
menyadari bahwa penerimaan negara dari pajak tidak menunjukkan kenaikan berarti,
sehingga harus menopang kebutuhan anggaran belanja melalui sumber penerimaan
lainnya.
Terkait kenaikan biaya administrasi BPKB dan STNK, kuat
dugaaan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan anggaran di internal Polri. Dengan
anggaran belanja Polri pada 2017 mencapai Rp8,33 triliun, maka target
pendapatan Polri dari PNBP Jasa Kepolisian juga dinaikkan menjadi Rp6,9 triliun.
Angka ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya, di mana target pendapatan
Polri dari PNBP pada 2016 hanya Rp4,9 triliun.
Untuk kenaikan harga BBM, pihak Pertamina beralasan
hanya penyesuaian harga seiring melambungnya harga minyak dunia. Kenaikan harga
itu berlaku untuk BBM jenis Pertamax series, Pertilite dan Dexlite yang
masing-masing naik Rp300 per liter.
Sementara soal pencabutan subsidi TDL 900 VA,
pemerintah berdalih sebagai upaya mengubah strategi pemberian subsidi listrik
agar lebih tepat sasaran. Dengan pengalihan subsidi tersebut, PLN dan
pemerintah menargetkan penambahan desa yang tersambung listrik hingga 2.000
desa pada 2017.
Apapun alasannya, berbagai kebijakan baru itu sangat
menyengsarakan rakyat. Apalagi pemerintah tidak berdaya membendung kenaikan
harga barang kebutuhan pokok di pasaran. Saat ini saja, masyarakat kelas bawah
semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Rakyat yang kehidupannya serba pas-pasan kini semakin
terhimpit masalah mendasar. Kebanyakan rakyat tidak lagi mampu memenuhi sandang
pangan sebagaimana mestinya. Bahkan, tidak sedikit dari mereka harus ‘mengikat
perut’ untuk bertahan hidup di negeri ini.
Bisa dipastikan, kondisi ini akan menimbulkan
permasalahan sosial baru di masyarakat. Sebut saja pencurian, perampokan,
pelacuran, penyalahgunaan obat-obat terlarang, dan bentuk kriminal lainnya yang
dipicu rasa frustrasi warga menghadapi persoalan ‘perut’ yang semakin sulit.
Kalau sudah begini, siapa yang patut disalahkan? Akhirnya,
kita berlindung kepada Allah dari perkara buruk tersebut.[]