Soal APBA, Buruk Rupa Cermin Dibelah?

Ada berita yang tidak menggembirakan saat kita membuka lembaran baru di tahun 2017. Plt Gubernur Aceh Soedarmo ngotot mem-Pergub-kan APBA 2017. Anehnya, sebagian masyarakat di Aceh, termasuk beberapa tokoh, justru mengapresiasikan langkah Soedarmo yang terkesan otoriter itu.


Kita berpendapat, berita itu kurang menyenangkan. Sebab, penetapan anggaran daerah tanpa melalui proses penganggaran di DPRA akan merugikan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Bila hal itu dilakukan, pembangunan Aceh selama setahun ini hanya mengacu pada pengangaran tahun sebelumnya.

Selain itu, serapan anggaran dari pajak yang masuk ke kas daerah juga tidak ikut berkontribusi dalam pembangunan Aceh. Akibatnya, akan banyak sektor pembangunan yang menjadi kebutuhan mendesak masyarakat tidak bisa terakomodir dalam APBA 2017 versi Pergub.

Kita menilai, langkah Soedarmo itu sebagai bentuk otoriter Pemerintah Pusat yang terlalu mengintervensi penetapan anggaran daerah di Aceh. Melalui tangannya Plt Gubernur Aceh, Jakarta ingin menunjukkan kuasanya atas daerah dengan mengabaikan kepentingan Aceh secara keseluruhan.

Karenanya, kita harus mendorong pihak eksekutif dan legislatif untuk segera mengakhiri tolak-tarik kepentingan dalam proses penganggaran. Dengan berbagai pertimbangan, RAPBA 2017 memang harus ditetapkan menjadi APBA 2017 melalui mekanisme dewan. Di samping itu, kita tetap mendorong agar rancangan anggaran daerah tersebut secepatnya disahkan dan ditetapkan sebagai qanun.

Kita akui, kepercayaan rakyat terhadap legislator Aceh memang mulai menurun belakangan ini. Namun tidak justru melemahkan kewenangan DPRA, apalagi serta merta mendukung langkah Soedarmo mem-Pergub-kan APBA yang jelas-jelas merugikan pembangunan Aceh selama setahun ini.

Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPRA berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di Aceh. Lembaga ini mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang dijalankan dalam kerangka representasi rakyat Aceh. Karenanya, semua pihak harus menumbuhkan penguatan kepercayaan terhadap Parlemen Aceh, terutama dari kalangan legistator sendiri.

Kita akui juga, pengesahan APBA telah bertahun-tahun selalu terlambat. Kondisi tersebut tidak saja menjadi kesalahan legislatif, tetapi umumnya lebih kepada proses perancangan KUA-PPAS di eksekutif yang berlarut-larut sehingga terlambat penyerahannya ke DPRA. Akibatnya, ‘ketuk palu’ dilakukan di pertengahan tahun dan realisasi anggaran dikebut menjelang tutup tahun.

Anehnya, selama ini para elit Aceh terkesan nyaman dengan kondisi itu. Kalaupun ada yang mengeritik, cuma berteriak dan marah-marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Eksekutif dan legislatif pun seolah tidak merasa bersalah dengan kondisi tersebut. Bahkan, tidak terlihat adanya upaya perbaikan dari tahun ke tahun.

Karena itu, kita harus selalu mengingatkan dan mendorong pengesahan APBA dilakukan tepat waktu, sehingga pelaksanaan program pembangunan bagi masyarakat dapat terwujud sebagaimana mestinya. Jangan sampai dana yang seharusnya digunakan membangun infrastruktur atau kebutuhan mendesak lainnya tidak sampai terserap dan harus dikembalikan ke kas negara, seperti pengalaman selama ini.


Akhirnya, kita memang tidak setuju APBA di-Pergub-kan, namun bukanlah pembenaran bahwa APBA boleh disahkan terlambat. Sebab, keduanya sama-sama merugikan Aceh. Bila hal itu terjadi, kita sama saja seperti yang digambarkan Taufiq Ismail dalam syairnya, ‘buruk rupa cermin dibelah’.[]