Ketidakpuasan atas pelaksanaan Pilkada 2017 mencuat di
beberapa daerah di Aceh. Setidaknya, ada sembilan pasangan kandidat bupati dan walikota,
serta satu pasangan gubernur yang melayangkan gugatan ke Mahkamah Konsitusi
(MK).
Sembilan Paslon dari Aceh yang mengajukan permohonan
perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) 2017 ke MK, yakni
Abd Rasad/Rajab Marwan (Gayo Lues), TR Keumangan/Said Junaidi (Nagan Raya),
Ridwan Abubakar/Abdul Rani (Aceh Timur), Fakhrurrazi/Mukhtar Daud (Aceh Utara),
Sarjani Abdullah/M Iriawan (Pidie), Safriadi/Sariman (Aceh Singkil), Fazlun
Hasan/Syahyuzar (Kota Langsa), Said Syamsul Bahri/Nafis Amanaf (Abdya), dan
Yusuf Abdul Wahab/Purnama Setia Budi (Bireuen).
Sementara untuk Pilgub, satu-satunya pasangan calon
yang mendaftarkan gugatan ke MK adalah Muzakir Manaf/TA Khalid. Sebelum
menggugat Komite Independen Pemilihan (KIP) ke MK, pasangan itu juga menolak
pleno hasil rekapitulasi suara Pilkada Aceh yang memenangkan pasangan Irwandi Yusuf-Nova
Iriansyah.
Jalur yang ditempuh pasangan calon tersebut tentunya
sah-sah saja. UU Nomor 10 Tahun 2016 memang memberikan ruang bagi pasangan
calon yang belum menerima kekalahan untuk menempuh jalur hukum sebagai
perjuangan terakhir demi meraih kemenangan.
Di sisi lain, kita juga prihatin dengan banyaknya
sengketa Pilkada dari Aceh yang masuk ke KM. Karena, perkara tersebut kembali
menguras energi yang seharusnya sudah bisa bersama-sama memikirkan pembangunan
daerah yang lebih baik di masa mendatang. Sayangnya lagi, gugatan yang
didaftarkan itu umumnya tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan UU.
Antara lain, UU Pemilu menegaskan, peserta pemilihan
kepala daerah dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan dengan ketentuan selisih 2 persen suara untuk penduduk sampai
dengan dua juta jiwa, dan selisih 1,5 persen suara untuk penduduk lebih dari
dua juta jiwa.
Dengan demikian, hanya sengkeda Pilkada Gayo Lues yang
berpeluang ditindaklanjuti MK. Pasalanya, selisih yang diperoleh pasangan Abdul
Rasad-Rajab Marwan hanya terpaut kurang dari 2 persen di bawah pasangan
Muhammad Amru-Said Sani selaku Paslon peraih suara terbanyak. Selebihnya,
termasuk gugatan Mualem-Khalid, kemungkinan besar tidak akan ditindaklanjuti MK
karena selisih suara melebihi persentase batas minimal.
Kubu Mualem-Khalid misalnya, meraih 766.427 atau 31,74
persen suara. Sedangkan Irwandi-Nova yang ditetapkan sebagai pemenang Pilkada mengumpulkan
898.710 atau 37,22 persen suara. Dengan selisih suara di atas 5 persen, maka
kecil sekali kemungkinan gugatan Mualem/Khalid akan diproses oleh MK.
Menggugat ke MK hasil Pilkada memang dijamin oleh UU,
tapi bila tidak memenuhi ketentuan hanya buang-buang energi dan menguras biaya
yang tidak sedikit. Kalaupun dipaksakan, karena siap menang tapi tidak siap
kalah, itu sama saja kembali ke sepakbola kampung era 70-an. Bisa ditebak,
setiap pertandingan sepakbola kala itu kerap berakhir dengan adu jotos bahkan
menjadi pertikaian antar kampung.
Di luar persoalan itu, kita juga harus sadar bahwa
Pilkada di Aceh kali ini termasuk pesta demokrasi yang bisa disebut sukses. Setidaknya
sudah lebih baik dibandingkan Pilkada 2012. Soal ada yang kurang puas, hanyalah
perkara biasa. Yang penting, suara-suara sumbang itu harus dijadikan masukan,
bahwa penyelenggaraan Pilkada ke depan hendaknya tidak lagi meninggalkan
masalah.[]