Menjual Mimpi di Panggung Kampanye

Tahapan kampanye Pikada 2017 memasuki putaran terakhir. Tanggal 15 Februari nanti, kita harus menetapkan pilihan di TPS masing-masing. Pilihan itu akan menentukan nasib kita untuk (setidaknya) lima tahun kedepan. Bahkan mungkin untuk masa depan Aceh yang lebih panjang, kalau yang kita pilih nanti mampu meletakkan dasar-dasar yang kokoh untuk pembangunan Aceh berkelanjutan.


Dua periode kepemimpinan di Aceh hasil pemilihan langsung telah kita lalui. Sejauh ini, diakui atau tidak, kita masih berada di masa transisi pascakonflik. Kita masih di persimpangan jalan dalam rangka mencari format pembangunan Aceh yang lebih baik. Kita berharap, melalui Pilkada kali ini, kita benar-benar bisa memantapkan pontasi pembangunan Aceh berkelanjutan yang bermuara pada kesejahteraan seluruh rakyat Aceh.

Namun, harapan untuk itu sepertinya masih harus kita simpan jauh-jauh. Menyimak program yang ditawarkan para kandidat, baik calon gubernur/wakil gubernur maupun para calon bupati dan walikota beserta wakilnya, kabanyakan mereka hanya menjual mimpi.

Kita melihat, penyakit lama masih saja berulang di masa kampanye kali ini. Rakyat kembali disuguhi janji-janji dengan aroma ‘angin surga’ yang menyejukkan. Padahal, kita semua tahu, janji-janji tersebut hanya retorika politik yang kebanyakan tidak mungkin mampu dipenuhi.

Apa yang mereka tawarkan kali ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang digembar-gemborkan oleh para pemimpin sebelumnya, baik di tingkat lokal maupun di level nasional. Mereka hanya pintar bertolak kisah di panggung kampanye, tapi minim realisasi ketika terpilih jadi pemimpin.

Padahal, saat ini kita membutuhkan komitmen yang jelas dari calon pemimpin dalam melakukan perubahan di Aceh. Tapi, dengan kondisi hari ini, kita sepertinya semakin sulit menemukan pemimpin ideal untuk Aceh. Pemimpin yang mampu membawa Aceh keluar dari masa transisi, sekaligus mampu menjawab semua persoalan Aceh.

Terkesan sekali, para calon kepala daerah yang muncul sekarang ini sekedar berlomba-lomba menjadi penguasa karena menganggap negara ini mampu memberi jaminan hidup dan kebanggaan. Tapi mereka seringkali lupa bagaimana membawa daerah yang dipimpinnya ke arah yang lebih baik? Bagaimana menyejahterakan rakyat yang terhimpit persoalan ekonomi di tengah melambungnya harga kebutuhan pokok? Kewajiban ini justru mereka abaikan. Mereka tidak memberikan gambaran yang jelas mengatasi persoalan ini, selain iming-iming yang sifatnya populis.

Karenanya, rakyat harus pintar dalam menentukan pilihan. Jangan mudah percaya dengan janji-janji para calon pemimpin itu. Jangan pula tidak menggunakan hak pilih pada pemungutan suara 15 Februari nanti. Pilihlah calon sesuai hati nurani kita masing-masing, tanpa dipengaruhi iming-iming yang justru merendahkan martabat kita selaku bangsa yang besar.[*]