Waspadai Agenda Obok-obok Aceh

Penembakan di Aceh Timur menjadi insiden paling brutal pascapencoblosan Pilkada 2017. Tindak kekerasan seperti itu, apapun alasannya, tidak boleh dibiarkan. Terlebih seperti yang menimpa Misno dan Juman, warga Peunaron Baru, Kecamatan Peunaron, Aceh Timur. Kedua korban harus menjalani operasi di RSUZA Banda Aceh karena  mengalami luka tembak masing-masing pada perut dan leher.


Di balik peristiwa itu, sesungguhnya ada pertanyaan, tidakkah semua itu merupakan bagian dari upaya meperkeruh situasi Aceh? Kalau gerombolan bersenjata api masih berkeliaran, tidakkah hal itu akan menyulut konflik baru di Aceh?

Meski penembakan yang dilakukan empat orang tak dikenal itu menyasar pendukung salah satu kontestan Pilkada 2017, Kapolda Aceh Irjen Pol Rio S Djambak menyatakan insiden tersebut merupakan kriminal murni. Dia memastikan penembakan itu tidak terkait politik, namun dilakukan oleh oknum yang tidak menginkan situasi keamanan Aceh kondusif.

Insiden Peunaron pada Minggu (6-3-2017) dinihari itu menunjukkan masih ada pihak yang ingin mengacaukan Aceh. Memang butuh keikhlasan semua pihak untuk merawat perdamaian di Aceh, utamanya dalam menciptakan situasi kondusif pasca-Pilkada 2017.

Meskipun sejauh ini belum membahayakan eksistensi perdamaian Aceh, kita tetap saja perlu mewaspadai agenda mengambalikan Aceh ke era konflik dengan masih maraknya insiden penembakan. Bagaimana orang tak dikenal dengan mudah menenteng senjata api dan menembaki siapa saja yang dinginkannya? Betapa orang bersedia berbuat apa saja, bila tidak ada agenda terselubung di balik semua itu? Ini yang patut kita waspadai.

Di sisi lain, insiden penembakan yang masih marak di Aceh juga mengesankan hilangnya semangat musyawarah yang pernah menjadi kepribadian kita sebagai orang Timur. Di kalangan elit Aceh saja masih saling merasa benar sendiri, sehingga sulit diajak bermusyawarah. Pesta demokrasi yang baru saja kita laksanakan pun hanya menonjolkan perbedaan. Titik temu dalam perbedaan pendapat seolah semakin sulit  temukan, sehingga mengesankan kita semakin bercerai-berai. 

Karena itu, kita berharap, pemerintah dan aparat keamanan lebih sigap dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan yang berpotensi merusak perdamaian Aceh. Begitu juga kepada kontestan Pilkada, sikap saling gunting dalam perebutan tampuk pimpinan di Aceh, kita harap tidak meruncing menjadi pertikaian besar, apalagi sampai melibatkan rakyat sebagai calon korbannya.

Niat baik yang telah terbangun dengan semangat membenahi Aceh dari konflik panjang dan bencana besar, mestinya dilanjutkan dengan semangat merawat perdamaian yang telah terwujud. Semoga takdir baik masih bersama rakyat Aceh, yang juga sudah seharusnya berubah menjadi rakyat yang bermartabat di republik ini.

Semua itu ingin dikemukakan, sebagai kontribusi kita bagi Aceh yang lebih baik. Harus kita akui memang, masih banyak yang harus kita lakukan agar perjalanan perdaiamai Aceh bisa selamat hingga ke anak cucu kita kelak. Jangan sampai kita terjebak pada agenda provokatif yang mengembalikan Aceh ke era konflik.


Terkait sengketa hasil Pilkada misalnya, semuanya diharapkan bisa menahan diri dan mentaati asas-asas perundangan dan kepatutan yang mestinya kita pegang bersama. Kita harus bisa menempatkan, keberlangsungan perdamaian Aceh di atas segala-galanya. Tanpa itu, mustahil kita bisa maju dan berkembang di masa mendatang.[]