Tanpa terasa matahari telah beranjak ke peraduan malam. Sementara
azan magrib baru saja usai. Sesaat kemudian kejora hinggap di langit
yang telah berwarna gelap. Aku masih saja terpaku menatap laut.
Pikiranku mengembara, melintas hari-hari indah yang pernah kulalui
bersama Amelia. Ya, di tempat ini aku sering menikmati matahari
tenggelam bersama Amelia.
Tapi, kini aku sendiri. Hanya berteman desau angin, gelombang lautan,
dan camar yang sesekali menukik di depanku. Kemudian aku tiduran di
atas pasir, di bawah bulan yang menguning di atas laut. Tengah malam aku
baru pulang ke rumah ibu. Kepulanganku yang mendadak, membuat ibu dan
dua adik perempuanku terkejut.
“Dari tadi abang kok diam aja, wajah abang juga pucat, abang sakit?”
tanya adikku yang masih kuliah di sebuah PTS di kampungku, setelah
melihat kondisiku yang tidak seperti biasanya.
Aku menggeleng, “gak apa-apa, abang cuma lagi kecapean.” Kemudian aku
hanya ngobrol seadanya dengan ibu dan kepada kedua adikku, sekedar
basa-basi untuk menyembunyikan kepiluan yang tengah kurasakan. Setelah
itu, aku pamit dan masuk kamar.
Kurebahkan tubuhku yang lunglai di atas tempat tidur. Mataku
menerawang, lalu sorot mataku tertumpu pada celah jendela yang
memuncratkan cahaya purnama. Aku kembali bangkit dan membuka jendela
kamar lebar-lebar. Kulihat bulan yang berisi penuh mengambang di atas
pucuk kelapa. Kadang-kadang bergoyang seperti ditiup angin. Bulan itu
hanya sendiri, persis seperti diriku yang tengah meratap kesendirian.
Aku terus memandang bulan, hingga cahayanya berganti semburan surya
pagi.
Sorenya aku baru ke luar rumah. Tujuanku hanya satu, mendatangi
tempat-tempat yang pernah kusinggahi bersama Amelia. Lalu larut dalam
kenangan masa lalu yang tak mungkin terjemput lagi, terutama ketika aku
sudah berada di tepi laut yang banyak menyimpan kenangan itu.
Setiap mengingat Amelia, aku selalu meneteskan air mata, kemudian
kucoba menghapusnya dengan ujung kemeja. Air mata itu tetap menetes dan
aku terus menghapusnya. Berkali-kali sampai kering.
Kebiasaan itu terus berlangsung hingga berhari-hari. Seperti
sekarang, sudah sore ketujuh aku sendirian menatap matahari tenggelam di
tepi laut. Kali ini aku benar-benar ingin menumpahkan segala kegalauan
yang tengah menderaku. Ingin rasanya aku terjun ke laut dan tenggelam,
lalu mati. Atau menggantungkan leherku di tiang perahu nelayan,
selanjutnya ditemukan nelayan dengan lidah yang menjulur. Dengan
demikian penderitaanku akan berakhir.
Akh, tidak. Aku tidak boleh mati seperti itu. Lagian, meski tanpa
Amelia, aku tidak sendiri. Aku masih punya teman-teman yang membutuhkan
buah pikiranku untuk bersama-sama menerbitkan koran baru. Mereka mungkin
sekarang sedang menunggu kehadiranku di Banda Aceh. Lalu, sama-sama
melahirkan media yang bermartabat di bumi serambi Mekkah. Sehingga, bisa
saling membagi ilmu dan pengalaman dengan sesama anak negeri yang
sedang sekarat ini.
Terlebih, aku juga masih punya Tuhan. Amelia telah begitu banyak
mengajariku kebaikan. Mengajariku untuk selalu dekat dengan-Nya, dan
berpaling jauh dari larangan-Nya. Mendadak aku teringat kisah Qais dan
Laila. Ya, perjalananku kini menyerupai langkah Qais bin Mu’adz bin
Syamah bin Nasir yang dikenal sebagai Majnun, sedangkan Amelia seumpama
Laila, sang perantara.
Aku ingat betul kisah romantis sekaligus transenden itu. Cinta dua
sejoli dari bani yang berbeda. Lalu terlibat asmara yang menggelora,
hingga membuahkan kesadaran seorang manusia untuk bersimpuh pada
Khaliknya. Laila yang jelita hanya sebagai antara, untuk mengantar Qais
menuju Sang Pencipta.
Ketika cinta yang menggelora itu mendapat hambatan keluarga Laila,
maka Qais jadi tergila-gila. Seperti juga aku, ya gila. Bahkan, aku
sendiri pernah mendengar pembicaraan beberapa nelayan yang menyebutkan
aku orang gila, setelah beberapa sore mereka menemukan aku sendirian
terpaku menatap laut.
Aku memang telah gila seperti Qais. Bahkan, aku ingin menjadi sosok
Majnun yang sesungguhnya. Ingin terkubur cinta. Bukan lagi cinta pada
kecantikan Amelia, tetapi jauh melampaui batas-batas perasaan asmara.
Biarlah matahariku tenggelam. Aku yakin, suatu saat aku akan
memperoleh perpaduan cahaya matahari dan rembulan yang sempurna. Karena,
akan kuabaikan semua cinta dunia. Lalu, aku memasuki dunia
spiritualitas yang indah. Mahabbah! Cinta pada Allah. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 17