Lelaki tanpa Matahari (16)

Tanpa terasa matahari telah beranjak ke peraduan malam. Sementara azan magrib baru saja usai. Sesaat kemudian kejora hinggap di langit yang telah berwarna gelap. Aku masih saja terpaku menatap laut. Pikiranku mengembara, melintas hari-hari indah yang pernah kulalui bersama Amelia. Ya, di tempat ini aku sering menikmati matahari tenggelam bersama Amelia.
Tapi, kini aku sendiri. Hanya berteman desau angin, gelombang lautan, dan camar yang sesekali menukik di depanku. Kemudian aku tiduran di atas pasir, di bawah bulan yang menguning di atas laut. Tengah malam aku baru pulang ke rumah ibu. Kepulanganku yang mendadak, membuat ibu dan dua adik perempuanku terkejut.

“Dari tadi abang kok diam aja, wajah abang juga pucat, abang sakit?” tanya adikku yang masih kuliah di sebuah PTS di kampungku, setelah melihat kondisiku yang tidak seperti biasanya.
Aku menggeleng, “gak apa-apa, abang cuma lagi kecapean.” Kemudian aku hanya ngobrol seadanya dengan ibu dan kepada kedua adikku, sekedar basa-basi untuk menyembunyikan kepiluan yang tengah kurasakan. Setelah itu, aku pamit dan masuk kamar.
Kurebahkan tubuhku yang lunglai di atas tempat tidur. Mataku menerawang, lalu sorot mataku tertumpu pada celah jendela yang memuncratkan cahaya purnama. Aku kembali bangkit dan membuka jendela kamar lebar-lebar. Kulihat bulan yang berisi penuh mengambang di atas pucuk kelapa. Kadang-kadang bergoyang seperti ditiup angin. Bulan itu hanya sendiri, persis seperti diriku yang tengah meratap kesendirian. Aku terus memandang bulan, hingga cahayanya berganti semburan surya pagi.
Sorenya aku baru ke luar rumah. Tujuanku hanya satu, mendatangi tempat-tempat yang pernah kusinggahi bersama Amelia. Lalu larut dalam kenangan masa lalu yang tak mungkin terjemput lagi, terutama ketika aku sudah berada di tepi laut yang banyak menyimpan kenangan itu.
Setiap mengingat Amelia, aku selalu meneteskan air mata, kemudian kucoba menghapusnya dengan ujung kemeja. Air mata itu tetap menetes dan aku terus menghapusnya. Berkali-kali sampai kering.
Kebiasaan itu terus berlangsung hingga berhari-hari. Seperti sekarang, sudah sore ketujuh aku sendirian menatap matahari tenggelam di tepi laut. Kali ini aku benar-benar ingin menumpahkan segala kegalauan yang tengah menderaku. Ingin rasanya aku terjun ke laut dan tenggelam, lalu mati. Atau menggantungkan leherku di tiang perahu nelayan, selanjutnya ditemukan nelayan dengan lidah yang menjulur. Dengan demikian penderitaanku akan berakhir.
Akh, tidak. Aku tidak boleh mati seperti itu. Lagian, meski tanpa Amelia, aku tidak sendiri. Aku masih punya teman-teman yang membutuhkan buah pikiranku untuk bersama-sama menerbitkan koran baru. Mereka mungkin sekarang sedang menunggu kehadiranku di Banda Aceh. Lalu, sama-sama melahirkan media yang bermartabat di bumi serambi Mekkah. Sehingga, bisa saling membagi ilmu dan pengalaman dengan sesama anak negeri yang sedang sekarat ini.
Terlebih, aku juga masih punya Tuhan. Amelia telah begitu banyak mengajariku kebaikan. Mengajariku untuk selalu dekat dengan-Nya, dan berpaling jauh dari larangan-Nya. Mendadak aku teringat kisah Qais dan Laila. Ya, perjalananku kini menyerupai langkah Qais bin Mu’adz bin Syamah bin Nasir yang dikenal sebagai Majnun, sedangkan Amelia seumpama Laila, sang perantara.
Aku ingat betul kisah romantis sekaligus transenden itu. Cinta dua sejoli dari bani yang berbeda. Lalu terlibat asmara yang menggelora, hingga membuahkan kesadaran seorang manusia untuk bersimpuh pada Khaliknya. Laila yang jelita hanya sebagai antara, untuk mengantar Qais menuju Sang Pencipta.
Ketika cinta yang menggelora itu mendapat hambatan keluarga Laila, maka Qais jadi tergila-gila. Seperti juga aku, ya gila. Bahkan, aku sendiri pernah mendengar pembicaraan beberapa nelayan yang menyebutkan aku orang gila, setelah beberapa sore mereka menemukan aku sendirian terpaku menatap laut.
Aku memang telah gila seperti Qais. Bahkan, aku ingin menjadi sosok Majnun yang sesungguhnya. Ingin terkubur cinta. Bukan lagi cinta pada kecantikan Amelia, tetapi jauh melampaui batas-batas perasaan asmara.
Biarlah matahariku tenggelam. Aku yakin, suatu saat aku akan memperoleh perpaduan cahaya matahari dan rembulan yang sempurna. Karena, akan kuabaikan semua cinta dunia. Lalu, aku memasuki dunia spiritualitas yang indah. Mahabbah! Cinta pada Allah. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 17