Lelaki tanpa Matahari (17)

Sejak itu, aku berusaha melupakan Amelia. Tapi, cinta yang pernah kudapatkan darinya telah membuatku hanya berpikir tentang perasaan orang lain. Cinta yang membuat aku selalu mendahulukan orang lain. Cinta yang kemudian menjadi bumerang, membelenggu proses kreativitasku dan membuat kualitas diriku mandul. Cinta yang membuat aku lupa bahwa aku masih punya banyak kesempatan untuk menguras segala keahlian dan keunggulan diri.

Ya, aku benar-benar tak berdaya. Meski berada di antara teman-teman yang sedang menyiapkan penerbitan koran baru, aku tidak bisa memberikan ide-ide bagus. Padahal, di antara teman-teman lain, sebenarnya aku paling banyak pengalaman dalam merintis penerbitan sebuah media cetak. Kurasakan tubuhku ada bersama mereka, tapi jiwaku masih saja mengembara di masa lalu. Ah, alangkah tololnya aku!
Namun, setelah enam bulan berlalu, tiba-tiba aku tergugah dari tidur panjang dalam dekapan masa lalu. Aku berjanji pada diri sendiri untuk tetap meneruskan perjalanan ke depan. Aku harus berani meninggalkan masa lalu demi tujuan baru. Toh gerbang menuju ke arah itu sudah terpampang di hadapanku. Karena, koran baru yang kami rintis bersama telah hadir setiap pagi menjumpai pembacanya. Dan, aku dituntut bekerja secara totalitas untuk kemajuan media itu.
* * *
Lima tahun kemudian. Di sebuah warung kopi, di tepi Krueng Peudada, suatu senja. Aku duduk menyendiri menghadap ke sungai, memandang matahari yang pelan-pelan rebah ke barat. Sengaja aku memilih bangku menghadap ke barat, persis lima tahun lalu, saat aku dan Amelia menunggu matahari tenggelam sambil menikmati goreng pisang dan teh manis di warung itu.
Sekarang, wanita yang pernah menjadi kekasihku itu ingin menemuiku di tempat ini. Dia memintaku menunggunya sore hari, setelah perayaan 17 Agustus, usai. Seperti juga usai peringatan 17 Agustus lima tahun lalu, yang menjadi sore terakhir kami bersama ke tempat ini.
“Sudah lama menungguku?”
Aku menoleh. Kudapati wanita itu tersenyum di belakangku. Masih seperti dulu. Tatapan matanya masih memantik api. Ada kerinduan yang tersirat di balik sorot matanya itu.
Aku menggeleng. “Baru aja,” jawabku seraya menjabat tangannya. Jemarinya tetap lembut. Sama seperti ketika kami masih bersama, lima tahun lalu.
Aku tidak tahu siapa yang memulai, tiba-tiba saja kami saling berpegangan tangan, menelusuri tanggul Krueng Peudada hingga ke ujung kuala.
“Maafkan aku telah mengganggu waktumu. Aku hanya ingin menemuimu, meski sesaat saja. Aku tahu, kamu pasti sibuk sekali sekarang,” desahnya di telingaku. Kurasakan nafasnya masih seperti dulu, masih menebarkan aroma kembang.
“Tidak apa-apa. Aku senang kita bertemu kembali, meskipun suasananya tidak seperti dulu. Oh ya, bagaimana kabar suamimu?”
Mendadak dia tersentak. Kulihat rona wajahnya berubah seketika. Lama dia terdiam. Amelia hanya menatapku dengan pandangan kosong.
“Memangnya ada apa dengan suamimu?” desakku seraya melingkari kedua tanganku di bahunya.
“Kami sama-sama tidak saling mencintai. Kebersamaan kami hanya karena terpaksa. Ya, perkawinan kami memang sebuah keterpaksaan. Jadi, tidak pernah ada kecocokan. ”
“Lalu…”
“Dia menceraikan aku dan menikahi pacarnya semasa SMA. Ya, aku sudah setahun menjanda. Tapi, tak apa lah, itu sudah takdirku. Isteri kamu sendiri bagaimana? Kalau dia tahu tentang pertemuan kita ini, sampaikan saja maafku. Karena, aku memang tidak bermaksud merebutmu lagi darinya,” ujar Amelia sambil menatapku tak berkedip.
“Semoga saja isteriku tidak tahu, soalnya dia pencemburu sekali. Tapi aku sangat mencintainya. Sayangnya, dia juga telah berlalu dari sisiku. Ya, dia merenggang nyawa di tengah perjuangannya melahirkan anak kami yang pertama…”
Ada kegetiran yang mendadak menderaku ketika mengingat kembali saat-saat terakhir menjelang maut menjemput istriku dan buah hati kami yang dikandungnya. Tapi, kucoba membenamkan perasaan itu dalam-dalam. Karena, aku sadar, sesuatu yang sudah pergi tak mungkin kembali lagi. Semoga dia dan janin di perutnya mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya.
“Jadi, sekarang…” desah Amelia kemudian.
“Sama sepertimu, sudah hampir dua tahun aku kembali hidup sendiri.”
Kemudian aku menggenggam tangan Amelia erat-erat. Seketika terbesit keinginan untuk menggenggam tangan itu selamanya. Dan, ingin merangkai kembali sesuatu yang telah terabaikan di masa lalu.
“Tadinya. aku mau menemuimu di sini hanya sekedar ingin mengingat kembali masa lalu kita. Karena menurutku, sesuatu yang indah meskipun tidak berakhir dengan indah, tetap menjadi kenangan yang indah. Tapi sekarang…”
“Tapi sekarang apa?”
“Aku ingin, kita mengakhirinya dengan indah!”
Sementara, di ujung laut yang tak bertepi, matahari telah ditelan kegelapan malam. Namun, bagiku semuanya malah menjadi terang. Aku telah menggapai kembali matahariku yang hilang. Menuju mahligai indah yang pernah berserakan di kehidupan yang lalu.(Epesode II Menyusul)