Kegaduhan Kaum Pemimpin

Tiada hari tanpa perseteruan. Inilah yang dipertontonkan para elit Aceh belakangan ini. Perilaku kalangan pemimpin, mulai eksekutif, legislatif, hingga yudikatif, senantiasa bertabrakan dan saling menyalahkan demi memperjuangakan ‘perut’ masing-masing.


Egoisme kekuasaan yang mereka pertontonkan telah menyeret Aceh dalam kubangan persoalan yang tiada akhir. Tolak-tarik kepentingan antara DPRA dan Pemerintah Aceh dalam berbagai hal, terutama dalam setiap penetapan APBA, kerap mengorbankan rakyat. Kepentingan yang mengatasnamakan rakyat itu justru sering dimanfaatkan oleh eksekutif dan legislatif untuk kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing.

Di kalangan eksekutif sendiri, sejak lama gubernur dan wakil gubernur suadh tidak seiring-sejalan dalam memimpin Aceh. Bahkan, secara terang-terangan mereka memperlihatkan pertentangan di antara keduanya. Dalam mengeluarkan kebijakan publik pun, Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf tidak pernah suatu suara. Ujung-ujungnya, rakyat yang dirugikan.

Dalam dua pekan terakhir, di tengah persoalan Pilkada yang sudah berujung ke Mahkamah Konstitusi, Gubernur Zaini kembali membuat kegaduhan di Pemerintah Aceh. Mutasi pejabat eselon dua yang digelar Jumat malam, 10 Maret lalu, berujung perlawanan dari sejumlah kepala SKPA yang tergusur.

Persoalan tersebut kini menjadi bola liar yang menguras energi banyak pihak, termasuk Kemendagri dalam menentukan legal-tidaknya mutasi yang dilakukan Gubernur Zaini di penghujung masa jabatan. Lagi-lagi, rakyat juga yang menjadi korban karena persoalan itu berimplikasi pada terkendanya sejumlah program pemerintah.

Perseteruan kalangan pemimpin ini menjadi drama egoisme kekuasaan yang menyakiti hati rakyat. Kondisi ini menunjukkan para elit Aceh sedang mengalami krisis moral dan melunturnya nilai-nilai ke-Aceh-an. Mereka lebih mengedepankan ambisi pribadi dengan mengabaikan kepentingan Aceh secara keseluruhan.

Melihat semua ini, rakyat semakin gamang dan cenderung apatis. Terlibih tontonan itu disuguhi para elit di tengah kesenjangan ekonomi yang kian lebar, membludaknya angka pengangguran, dan melambungnya harga barang kebutuhan pokok.

Sebelum rakyat bertindak dengan caranya sendiri, cukup bijak kalau mereka segara instropeksi diri.  Sama-sama berpikir jernih untuk kebaikan Aceh di masa mendatang. Kondisi seperti sekarang ini hanya dapat dicegah, kalau mereka bisa saling menahan diri. Khususnya bagi para elit politik dan para penyelenggara pemerintahan untuk tidak mempertontonkan konflik mereka secara terbuka.

Kita berharap, mereka bisa menjaga perbedaan pendapat sebatas sebagai fenomena demokrasi dan tidak memelihara perbedaan itu sebagai media untuk memaksakan kehendak. Dalam berdemokrasi pun, hendaknya prinsip kebersamaan harus menjadi konsep dasar yang tidak boleh dihilangkan.


Ada baiknya juga kita mengingat kembali peringatan Bung Hatta, sang proklmator kita, bahwa ‘demokrasi itu memerlukan syarat tingkat pendidikan, agar orang bisa melihat foto sesuai dengan aslinya, tidak lebih indah dan tidak lebih buruk’. Bukan seperti sekarang ini, demokrasi justru memberikan peluang untuk siapa saja mengurus negeri, tanpa milihat kapasitas dan integritas yang dimilikinya.[]