“Adek gak mau ikut campur dengan urusan abang di kantor. Tapi adek
kan selalu mendukung segala sesuatu yang terbaik menurut abang.”
“Oke. Tapi adek harus janji mau ikut abang ke mana aja selama liburan ini. Gimana?”
“Ya dech. Lagian adek mau liburan di Bireuen kan karena abang…”
Kuakui memang. Amelia mau menghabiskan liburannya di Bireuen karena
memenuhi permintaanku. Padahal, sebelumnya, dia dan teman-teman
sekampusnya sudah membuat rencana liburan ke Sabang.
Bus yang kami tumpangi melaju kencang. Menyelip beberapa pengendara
lain. Kurebahkan kepalaku di bahunya. Aku benar-benar ingin terlalap di
dihembusan nafas kekasihku. Sesekali Amelia mengusap rambutku. Di lain
waktu dia memencet butiran kecil jerawatku. Semuanya berlalu dalam
kebahagiaan yang menggayut di jiwa. Aku yakin, Amelia juga merasakan
kebahagian yang sama.
Perlahan aku mulai terlalap. Tapi, mendadak aku dikejutkan getaran
handphone di saku bajuku. Cepat kuraih dan kuangkat, ”Bang Ari lagi di
mana, sebentar lagi ada rapat…” terdengar suara Sri, sekretaris redaksi
di kantorku.
“Aku lagi di luar kota, mungkin bakda magrib baru nyampe di kantor,” jawabku agak acuh.
“Tapi kata Pemred, ini rapat penting,”
“Ya, dah. Aku gak bisa hadir. Apapun hasil rapat, aku sih setuju aja, kok.”
Setelah berkata begitu, aku langsung mematikan handphone. Aku sudah
bisa menebak, rapat penting itu pasti membahas ketidaksetujuan Pemred
dan kroni-kroninya tentang kebijakan manajemen perusahaan. Akh, masa
bodoh. Itu urusan mereka. Aku bukan bekerja pada mereka, juga bukan
untuk mereka. Aku bekerja pada perusahaan dan untuk perusahaan. Persetan
dengan mereka!
Bus terus melaju, menapaki lereng Seulawah. Sementara Amelia,
perempuan bermata matahari itu, menatapku tak berkedip. Lentik bulu
matanya seperti ingin memantik api yang terus menyala di keremangan
petang. Aku terdiam, dan kembali merebahkan kepala di bahunya. Ya, aku
ingin selamanya di sampingnya. Melawati perjalanan waktu, hingga sampai
ke dermaga terakhir.
Matahari baru saja beranjak ke pelukan malam. Bus yang kami tumpangi
berhenti di terminal Bireuen. Amelia membangunkan aku dari tidur yang
tak sempat nyenyak. Kulihat dia menebarkan senyuman dari wajahnya yang
letih karena perjalanan jauh. Aku merenung sejenak dan berusaha bangkit.
Amelia sudah menenteng tas jinjingnya dan menyeret tanganku turun dari
bus.
Selepas mengantar Amelia ke rumahnya, aku langsung masuk kantor. Tiba
di ruang redaksi, sorot mataku tertumpu pada wajah-wajah gelisah.
Sepertinya Pararaja sedang menghadapi masalah besar.
Benar saja. Belum sempat aku menyalakan komputer kerja, aku sudah dipanggil Raja-01 ke ruangannya. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 6