Kurasa semburan udara penyejuk ruangan itu dipaskan pada posisi 16
derajad celsius. Namun, butiran keringat kulihat tetap saja mengalir di
jidat Raja-01 yang lumayan licin. Ohya, Raja-01 itu
panggilan kami untuk pemimpin redaksi. Maklum, Harian Pararaja memang
dikelola oleh sejumlah raja dari beragam komunitas berbeda.
“Duduk Ri,” tuturnya seraya berusaha mengumbar senyum yang tampak jelas dipaksakan.
Aku menggeser kursi hingga persis di hadapannya, “ada apa, bang?”
“Gini, kayaknya pihak manajemen tetap memaksa memasukkan orang luar
untuk posisi Wapemred. Kita juga tadi udah rapat dengan teman-teman yang
hasilnya sepakat menolak keberadaan orang luar di jajaran pimpinan.
Gimana menurut kamu?”
“Bagi saya, siapa aja yang jadi pimpinan di sini gak ada masalah. Ya,
kalau memang untuk kemajuan perusahaan dan keberhasilan kita bersama
apa salahnya? Lagian dia kan bisa membantu tugas-tugas abang, di samping
membuat terobosan-terobosan baru guna meningkatkan mutu koran,”
paparku.
“Tidak,” nada suranya mulai tinggi, “aku dan teman-teman lain tetap
tidak setuju. Aku lebih setuju kau atau salah seorang dari kalian yang
jadi Wapemred ketimbang orang baru yang tidak ikut merintis kelahiran
koran ini.”
“Yakh, terserah abang dan teman-teman lain aja. Saya tetap mengikuti
kebijakan perusahaan. Apalagi kebijakan itu bertujuan meningkatkan
kualitas produksi guna memperbesar oplah dan menambah pemasukan iklan,”
sebutku seraya bangkit dan meninggalkan ruangannya.
Biarlah aku dianggap tidak kompak, pikirku. Toh, aku memang
menginginkan kehadiran orang luar di jajaran redaksi yang bisa
membendung kebijakan-kebijakan sepihak Pemred dalam mengendalikan visi
dan kepentingan pemberitaan.
Aku kembali ke meja kerja. Kuhempaskan pantatku di kursi yang lumayan
empuk. Menyalakan komputer dan bergelut dengan sejumlah berita yang
dikirim melalui LAN chat dari komputer para wartawan.
Tepat pukul 11.30 WIB seluruh halaman selesai print out. Tapi
mendadak aku dan teman-teman di redaksi mendapat panggilan rapat, sesaat
selesai print film untuk naik cetak dilakukan. Padahal saat itu aku
sedang menerima telepon dari Amelia.
“Udah dulu dek ya, kami mau rapat mendadak ni. Ntar kalau udah rapat abang telepon balik. Key?”
“Key deh. Adek tunggu.”
Tiba di ruang rapat, kulihat petinggi-petinggi Pararaja sudah
memenuhi ruangan itu. Beberapa pemilik saham duduk satu deretan dengan
pemimpin umum dan pemimpin perusahaan. Di seberang mereka duduk pemimpin
redaksi, redaktur pelaksana dan beberapa redaktur. Sedangkan aku
memilih tempat duduk di kursi paling sudut. Boleh jadi, aku menjadi
pembatas dua kubu yang bertikai itu. Kalau memang mereka sedang
bersiteru.
Benar saja, dua kubu itu memiliki kepentingan yang berbeda. Pihak
pemilik saham, pemimpin umum dan pemimpin perusahaan bersikukuh ingin
menempatkan tenaga ahli dari Jakarta di posisi wakil pemimpin redaksi.
Sementara pihak pemimpin redaksi dan sebagian kecil redaktur, menolak
keras kehadiran darah baru itu.
Hingga rapat bubar, tetap saja tidak menemukan jalan penyelesaian.
Dua kubu itu sama-sama memberikan harga mati pada keputusan
masing-masing. Bahkan, menjelang rapat usai, datang kabar bahwa
percetakan mengalami kerusakan, sehingga tidak bisa dilanjutkan proses
cetak.
Malam menjadi dingin. Embun membasahkan kulitku ketika meninggalkan
kantor. Sesampai di mess, aku langsung merebahkan tubuh di atas ranjang.
Lalu mengeluarkan handphone dari saku celana dan menelpon Amelia.
“Dek, mulai besok Pararaja tidak terbit lagi. Mungkin juga untuk selamanya.”
“Kenapa?”
“Rapat tadi menemui jalan buntu. Bahkan tambah memperuncing masalah
yang ujung-ujungnya Pararaja tidak terbit lagi,” tuturku melemah.
“Ya udah. Abang sabar aja, mendingan sekarang kita ngobrol yang lain-lain aja.”
Malam itu rembulan muncul dengan wujud yang tipis dan kering. Kadang
tertutup awan dan lama tak terlihat. Aku dan Amelia ngobrol hingga fajar
menjelang. Kokok ayam terdengar bersahutan. Suara warga di belakang
mess menumbuk padi secara tradisional terdengar seperti musik kitaro
membelah langit Kamboja dalam film-film hollywood picisan. Aku kemudian
diam menatap ke luar jendela. Matahari bersinar.
Bakda ashar, aku menjemput Amelia di rumahnya. Kami menelusuri
jalan-jalan kampung sambil mencari objek foto yang menarik. Sementara
langit di atas kepala mulai ditutupi awan hitam yang berarak.
Setelah beberapa desa terlewati, magrib menderas. Kami memenuhi
panggilanNya di sebuah sarau, di pinggir bukit desa pedalaman. Menjelang
salam terakhir, rinai hujan terdengar menyentuh atap rumbia sarau.
Semakin lama, kian deras. Lalu titik-titik air hujan itu seperti
ditumpahkan dari langit.
Amelia menanggalkan mukena yang membungkus tubuhnya. Udara hujan yang
dingin membuat bibir bidadariku bergetar. Disinari pencahayaan lampu
neon 25 watt di balai-balai surau, wajah Amelia nampak menggigil
kedinginan. Sementara dua lelaki setengah baya yang juga mampir salat
magrib di surau itu sudah berlalu membelah deras hujan. Suara raungan
sepeda motor mereka mengimbangi deru hujan.
Sesaat kemudian kembali sepi. Malam terus merangkak. Dan, hujan belum
juga berhenti. Di surau tua itu hanya tinggal aku dan Amelia. Menanti
hujan reda, sambil berusaha mengusir dingin yang menusuk tulang. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 7