Lelaki Tanpa Matahari (7)

Hingga azan isya yang terdengar sayup dari mesjid di seberang sawah, hujan masih saja mengguyur lebat. Aku dan Amelia telah hanyut jauh dalam dunia masing-masing. Dia meringkuk dalam balutan pelukanku. Matanya masih menerawang, menerobos jalanan sunyi. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah berkali-kali mendengar helaan nafasnya. Ya, seperti juga yang sedang aku pikirkan. Ingin kebersamaan ini bisa berlangsung selamanya.

“Kita pulang aja, ya, nanti kemalaman di sini. Toh, hujan juga nggak ada tanda-tanda mau berhenti. Malah tambah lebat aja ni,” bisikku di telinganya.
Amelia mengangguk seraya merenggangkan tubuhnya dari dekapanku, “ya deh, tapi abang sanggup bawa kereta (sepeda motor) kan? Adek nggak mau bawa, dingin banget ni.”
“Iya, abang yang bawa. Adek duduk manis aja di belakang. Key sayang?”
Amelia hanya mengumbar senyum. Aku mengeluarkan sepedamotor dari bawah surau dan menstaternya. Setelah Amelia bergayut di bahuku, kami tancap gas menerobos hujan. Membelah kesunyiaan malam.
Tiba di kota, kami makan malam di warung langganan. Kunyalakan sebatang rokok, dan asapnya mengepul di celah-celah aroma sate matang yang kami pesan. Tiba-tiba mata Amelia melotot dan berusaha meniup bara yang menyala di ujung tembakau itu.
“Matikan sebelum mengoyak jantung abang!,” hardiknya sambil terus meniup dengan hembusan napasnya yang memendarkan aroma kembang.
Aku buru-buru membuang lentingan rokok itu. Ya, Amelia memang selalu memintaku untuk berhenti merokok. Aku juga sudah berjanji untuk tidak merokok lagi. “Sorry, abang lupa. Habisnya tukang warung sih yang nyodorin rokoknya, mungkin kasihan lihat abang kedinginan dan basah kunyup gini.”
“Ya, udah, makan aja dulu biar nggak kedinginan lagi,” tutur Amelia seraya mengumbar senyum yang memperlihatkan deretan gigi putih bersih yang tertata rapi di antara sepasang bibir merekah. Menikmati rekahan senyumannya, aku bisa terlepas dari berbagai persoalan kantor. Dan, aku memang ingin selalu membuat dia tersenyum. Selamanya.
Hujan di luar warung belum juga berhenti. Sementara kami larut dalam kenikmatan sate matang yang menggugah rasa, hingga udara dingin benar-benar sudah tak terasa.
* * *
Sejak Harian Pararaja tidak terbit, hari-hariku otomatis vakum dari rutinitas kantor. Selain menghabiskan waktu dengan melewati hari bersama Amelia, aku mencoba menulis apa saja sekedar mengisi waktu senggang di saat tengah malam.
Tapi, malam ini, sejenak aku berhenti mengetik. Sebetulnya bukan begitu. Aku memanglah belum mengetik apa-apa. Sejak duduk di depan komputer tiga menit lalu, kenyataannya aku memang belum mengetik suatu apapun. Entah mengapa aku begitu sulit memulai, meski satu kata sekalipun.Sudah lebih tiga puluh menit aku duduk di depan komputer tapi tanganku belum juga lincah bergerak menekan tuts-tutsnya. Hingga akhirnya kuputuskan untuk berhenti menulis dan segera mematikan komputer.
Aku melongokkan kepala ke luar jendela, menatap langit yang berantakan oleh bintang-bintang. Bahkan langit kelihatan begitu hitam sampai batasnya dengan bumi hilang. Kerlip bintang dan lampu kota kelihatan bersatu, seolah-olah berada di satu bidang. Luar biasa memang kekuasaan Tuhan.
Mendadak lamunanku dibuyarkan oleh dering handphone yang kuletakkan di atas ranjang. Cepat-cepat kuraih dan kuangkatnya, karena kukira Amelia tidak bisa tidur juga, lalu menelponku. Tapi ternyata dugaanku salah. Kali ini yang menelponku salah seorang pemilik saham di Harian Pararaja.
“Sudah tidur?” terdengar suaranya dari ujung telepon seluler.
“Belum, pak.”
Pararaja tidak kita terbitkan lagi. Tapi kita akan terbitkan koran baru dengan nama yang lain, kantor redaksi dan percetakan juga kita pindahkan ke Banda Aceh.”
“Kenapa tidak kita pakai aja nama Pararaja lagi, kan sudah dikenal orang?” tanyaku.
(Sebenarnya pertanyaan yang tidak perlu kuajukan. Sebab, Pararaja memang sudah dibuat lesensi atas nama pribadi Raja-01. Karenanya, tentu tidak mungkin digunakan lagi nama itu. Dan, tanpa rasa malu, Raja-01 mengklaim Pararaja adalah miliknya).
“Tidak usah, Pararaja milik raja kalian. Lagian kita bukan raja, jadi kita terbit dengan nama baru dan tentunya dengan semangat baru pula. Kamu pertahankan aja anak-anak untuk redaksi dan wartawan di daerah yang masih mau ikut dengan kita.”
“Ya, pak. Sekarang saya ngomong dengan teman-teman yang ada di mess dan besoknya saya hubungi wartawan di daerah yang masih mau ikut dengan kita. Jadi mereka tidak bertanya terus kapan terbit lagi.”
“Bilang juga ke mereka, dalam bulan ini kita akan pindahkan peralatan kantor dan mesin cetak ke Banda Aceh.”
Setelah meng-ia-kan permintaannya, malam itu juga aku memangggil rekan-rekan yang ada di mess ke kamarku. Aku meminta mereka bersabar dan siap-siap untuk berangkat ke Banda Aceh. Andy, Ozank, Andra, Rony, dan Tauris, malah minta secepatnya pindah markas ke Banda Aceh. Ya, aku memakluminya, kalau tidak ada Amelia di Bireuen, aku juga bosan lama-lama menganggur seperti ini.
“Sabar aja dulu, paling juga seminggu lagi kita sudah angkut semua inventaris kantor ke Banda Aceh,” ujarku kemudian.
“Oke boss, kami siap menerima perintah. Tapi, kayaknya kalau makan nasi goreng enak banget ni,” umbar Rony sebelum meninggalkan kamarku. Dalam urusan seperti itu, Rony memang paling tidak mau ba-bi-bu alias langsung bla-blakan dan selalu tepat waktu.
“Ya, Ron. Biar aku yang jalan,” timpa Tauris yang di-ia-kan oleh teman-teman lain.
Aku meragoh selembar limapuluhribuan di dompet dan menyerahkan kapada Tauris. Tanpa menunggu nasi goreng yang mereka beli, aku langsung membenamkan wajah di balik selimut tebal.
Tapi, hingga azan shubuh berkumandang mataku tetap saja tak mau terpejamkan. Sementara dentingan gitar dan suara sumbang teman-teman yang semalaman berjingkrak-ria di teras mess, sudah tidak terdengar lagi. Mereka sudah terlalap di kamar masing-masing.
Setelah salat shubuh, aku baru bisa tertidur pulas. Bukan di atas ranjang, tapi di atas sajadah. Tertidur di ujung doa yang tidak sempat terselesaikan. Aku kemudian terbangun karena mendengar suara gedoran pintu kamar yang diketuk seseorang dari luar.
“Bang, bangun, udah siang ni,” terdengar suara lembut wanita yang sudah begitu akrab di pendengaranku.
Aku cepat-cepat bangkit dan membuka pintu kamar. Amelia langsung menerobos dan duduk di bibir ranjangku. Aku mendekatinya. Tapi, ”huss, bauk. Mandi dulu sana.”
Aku hanya tertawa kecil menemukan kesewotan di wajah bidadariku. Lalu aku meraih handuk dan cepat-cepat berlalu ke kamar mandi. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 8