Penyalahgunaan narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba)
di Aceh sudah pada tataran yang mengkhawatirkan. Bila dulu Aceh hanya sebagai
daerah transit bagi jaringan narkoba internasional karena letak geografisnya
berbatasan langsung dengan Selat Malaka, kini bumi Serambi Mekkah justru
menjadi ‘arena’ bagi peredaran barang haram tersebut.
Bahkan, peredaran dan perdagangan berbagai jenis
narkotika belakangan ini telah menyentuh hampir semua kalangan di Aceh. Daerah
ini seolah menjadi pasar paling empuk bandar narkoba kelas dunia yang sebagian
besar memang dilakoni oleh warga Aceh sendiri.
Dalam beberapa kasus narkoba yang diungkap kepolisian
selama ini, kehidupan para bandar narkoba Aceh—baik yang ditangkap di Aceh
maupun di luar Aceh bahkan di luar negeri—sudah menyerupai gaya hidup
mafioso-mafiose dalam film-film klasik latin. Mereka bisa menembus semua sendi
kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Tidak saja tampil dengan gaya kaum hedonis yang
dikelilingi perempuan cantik, mobil-mobil mewah, tinggal di apartemen elite dan
penampilan parlente, namun juga sebagian mereka berhasil menyusup ke ranah
politik di negeri ini. Tidak tertutup kemungkinan pula para mafioso itu bisa
menjadi kepala daerah di Aceh—atau mungkin juga sudah ada, tapi entahlah.
Bila bicara soal keterlibatan oknum pejabat dan oknum
aparat yang bermitra dengan bandar narkoba, itu sudah bukan kajadian langka di
bumi yang gila label ini—label syariat hingga label negeri para syuhada. Dalam
beberapa kasus terakhir saja, terungkap adanya keterlibatan pejabat publik di
Aceh dalam jaringan peredaran narkoba. Sebut saja kasus yang kini mengantarkan
mantan Ketua KIP Aceh Timur Ismail SAg ke Rutan Tanjung Gusta Medan.
Belakangan, dalam kasus kepemilikan 78,1 kilogram sabu
dengan terdakwa Abdullah yang proses hukumnya sudah memasuki persidangan di
Pengadilan Negeri Banda Aceh juga mulai dikait-kaitkan dengan aktivitas politik
oknum anggota DPRA. Setidaknya, isu ini mulai mencuat setelah ditemukan mobil
berisi senjata api milik komplotan narkoba yang terparkir di komplek perumahan
anggota DPRA.
Meski keterkaitan mafia narkoba dengan aktivitas
politik anggota dewan ini masih sebatas isu, hal ini tetap saja merontokkan
kepercayaan publik kepada wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga legislatif.
Publik tentu merasa kecewa ketika melihat tokoh yang selama ini dijadikan
panutan, ternyata tidak lebih dari sampah masyarakat yang ikut meracuni anak-anak
bangsa.
Dalam upaya pemberantasan narkoba selama ini, pun masih
terkesan ada yang merasa dirugikan di kalangan aparat penegak hukum bila para
bandar narkoba disikat habis di bumi Aceh. Sehingga, tak jarang kita melihat
tidakan pemberantasan narkoba di daerah ini sebatas lip service. Tak jarang pula, secara kasat mata bisa terlihat buda
‘tangkap-lepas’ yang praktikkan aparat penegak hukum.
Bila pola penegakan hukum terhadap kejahatan narkoba
masih semacam itu, maka jangan harap peredaran gelap narkoba akan musnah di bumi
Aceh. Bahkan, bisa sebaliknya, para mafioso narkoba akan merajalela di negeri
syariat ini.[]