Adagium ‘power
tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’ kini makin
terbukti dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Padahal, Lord Action mencetuskan
pernyataan bahwa ‘orang yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan
kekuasaannya, tetapi kekuasaan yang absolut pasti korupsi’ itu jauh sebelum
negeri ini lahir.
Untuk Aceh, adagium ini sepertinya layak dilakapkan
pada Ilyas A Hamid alias Ilyas Pase. Jabatan Bupati Aceh Utara periode
2007-2012 yang diembannya telah menyeret dia dan keluarganya ke berbagai kasus
hukum. Setelah menjalani hukuman tujuh tahun penjara dalam kasus deposito Rp220
miliar, kini pria yang akrab disapa Teungku Liyah ini kembali duduk di kursi
pesakitan sebagai terdakwa perkara korupsi pinjaman daerah pada Bank Aceh
Cabang Rp7,5 miliar tahun 2009.
Selain dirinya, Teungku Liyah juga memiliki andil besar
mengantarkan mantan istrinya, Khadijah Abdullah alias Ummi Khadijah, ke
penjara. Ummi divonis empat tahun penjara dalam kasus korupsi dana hibah untuk Sanggar
Meuligoe Cut Meutia Aceh Utara yang dipimpinnya saat dia menjadi isteri Bupati
Ilyas Pase.
Bukan mustahil pula, Teungku Liyah akan kembali menyeret
sejumlah kerabatnya ke penjara terkait kasus kredit fiktif Rp7,5 miliar yang
kini menempatkannya sebagai terdakwa. Sebelumnya, mantan anggota GAM ini juga
telah mengantarkan sejumlah tokoh Aceh dan petinggi Bank Mandiri ke hotel
prodeo dalam kasus deposito Rp220 miliar.
Rentetan kasus hukum yang melibatkan Ilyas Pase dan
kroni-kroninya sejatinya menyadarkan kita bahwa dalam mimilih pemimpin tidak
boleh terkecoh dengan popularitas calon. Tetapi juga harus dilihat kapasitas
dan integritasnya, sehinga kita tidak ikut berpartisipasi menyuburkan korupsi
di negeri ini.
Selama ini kita seperti tenang-tenang saja melihat
seorang pejabat melakukan korupsi. Kita sama-sama tidak lagi punya rasa malu,
karena materialisme, tahta dan wanita sudah semakin mengaburkan panca indera.
Siapa lagi setelah Ilyas Pase? Sekali lagi, mungkin hanya faktor nasib sial
saja yang menimpa Ilyas Pase. Sebab, bisa dipastikan tidak sedikit pejabat dan
mantan pejabat lain di Aceh yang berkelakuan sama seperti Ilyas Pase.
Rakyat negeri ini memang gampang terpesona loyalitas
atas keyakinan, tekanan, uang hingga popularitas. Lihat saja mulai tingkat lokal
hingga nasional, negeri ini mulai dikelola orang-orang populer yang tidak
memiliki kapasitas dan integritas. Sementara para ekonom, ahli hukum dan
teknokrat yang sampai botak bersekolah hanya jadi penonton.
Ini karena rakyat suka uang dan popularitas. Ilyas Pase
yang kapasitasnya tidak jelas berhasil duduk sebagai kepala daerah hanya karena
latar belakangnya selaku eks GAM. Lalu seperti dalam adegan film, dia hadir di
lapangan golf dan pameran mobil mewah hingga muncul isteri-isteri muda yang
mengelilinginya.
Kita tidak akan pernah tahu ada episode yang lebih
seram lagi di lingkaran kekuasaan di Aceh. Meski begitu, orang-orang seperti
Ilyas Pase tetap saja amat percaya diri merasa dirinya yang punya negeri ini. Mereka
sudah tahu rakyat gampang dipuaskan hanya oleh sinetron-sinetron misteri
muarahan. Sehingga, dalam setiap Pilkada mereka selalu dengan gampang
melenggang ke kursi kekuasaan, baik di eksekutif maupun legislatif. Andai ini
terus berlanjut, maka tamatlah negeri ini.[]