Mendekati Pilkada 2017, polarisasi kekuatan politik di Aceh semakin
jelas dan kian mengerucut. Tidak tertutup kemungkinan, Muzakir Manaf alias
Mualem akan menjadi calon tunggal pada perhelatan pesta demokrasi tersebut.
Kalaupun ada kandidat lain, hanya Tarmizi Karim yang memungkinkan jadi pesaing
Mualem pada suksesi perebutan kursi Aceh-1 periode 2017-2022.
Peta kekuatan politik Aceh kekinian menunjukkan Muzakir
Manaf sebagai sentralitas figur yang berpeluang besar memimpin Aceh ke depan. Tidak
saja karena mesin politiknya Partai Aceh (PA) yang memiliki basis kuat hingga
ke tingkat grass root, tapi juga karena figur Mualem memang memiliki kharisma
kepemimpinan yang tidak dimiliki elite politik Aceh lainnya.
Akselerasi gerakan politik yang dimainkan Mualem belakangan
ini pun terlihat elegan dan cerdas. Selain melakukan konsolidasi di internal
PA, dia juga merangkum semua mantan elite GAM yang sempat berseberangan haluan
politik dengannya untuk bersama-sama memikirkan masa depan Aceh yang lebih. Alhasil,
sejumlah tokoh GAM yang sebelumnya berada di kubu Irwandi Yusuf kini sudah
merapat ke kubu Mualem. Sebut saja Ayah Merin, Husaini alias Tgk Batee dan
beberapa petinggi PNA—partai besutan Irwandi—lainnya sudah terang-terangan
berkomitmen mengalihkan dukungan politiknya kepada Sang Panglima.
Begitu juga dengan Sofyan Dawood yang kini kembali
bergandengan tangan dengan Mualem. Walau dukungan politik salah seorang pendiri
PNA ini masih mengambang, dipastikan Sofyan Dawood sudah hengkang dari kubu
Irwandi Yusuf. Pun tidak tertutup kemungkinan, mantan juru bicara GAM ini juga sudah
bergabung dengan tim Mualem di luar Partai Aceh.
Tak sampai di situ, pernyataan Mualem tentang pendampingnya yang
akan diambil dari partai nasional makin memperlihatkan kecerdasan akselerasi
politik yang dimainkan Wagub Aceh ini. Peluang untuk menjadi pendamping mantan
Panglima GAM ini pun tidak disia-siakan para elite partai nasional di Aceh. Dalam
sebulan terakhir, secara bergantian para pengurus partai nasional di Aceh
berupaya menemui Mualem. Sebagian masih sebatas berkomitmen mendukung
pencalonan Mualem, sebagian lagi sudah
terang-terangan menawarkan diri untuk dipinang jadi pendamping Sang Panglima.
Dengan elektabilitas dan popularitas Mualem tersebut, tentu memaksa
elite Aceh lain—tak terkecuali Irwandi Yusuf—harus berpikir 100 kali untuk maju
sebagai Cagub Aceh periode 2017-2022. Fenomena ini akan berpotensi terjadinya calon
tunggal pada Pilgub Aceh nanti. Ini tentu bukan lagi persoalan bagi Mualem,
setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan penghapusan pasal yang
menyaratkan pemilihan kepala daerah harus diikuti lebih dari satu pasangan
calon sebagaimana termaktub dalam UU No.8/2015 tentang pemilihan kepala daerah.
Bisa jadi pula, setelah Mualem menentukan pendampingnya dari
salah satu partai nasional, partai-partai lain yang memiliki kursi di DPRA akan
menarik dukungannya dan membangun kekuatan politik alternatif di luar kubu PA. Dari
sejumlah nama yang sudah muncul sebagai Cagub Aceh, koalisi partai-partai
tersebut kemungkinan besar akan mengusung Tarmizi Karim. Ini dikarenakan memang
hanya mantan Pj Gubernur Aceh tersebut yang memungkinkan bisa bersaing dengan
Mualem.
Namun, sejauh ini Tarmizi masih menjalankan ‘operasi senyap’
dalam menggalang dukungan untuk menuju kursi Aceh-1. Dari kalangan mantan GAM misalnya,
baru Sofyan Dawood yang sudah memberi sinyal akan mendukung Pj Gubernur
Kalimatan Selatan itu. Kemungkinan tersebut juga masih 50-50 diperlihatkan
Sofyan Dawood, antara mendukung Tarmizi atau Mualem.
Dalam beberapa kesempatan wawancara dengan Pikiran Merdeka,
Tarmizi hanya mengemukankan kesiapannya untuk maju pada Pilgub Aceh nanti. Sepertinya,
dia masih mengambil posisi wait and see
sampai Mualem menentukan wakilnya yang akan dipilih dari salah satu partai
nasional. Setelah itu, Tarmizi baru menentukan kendaraan politik dan membentuk
tim sukses yang akan mengantarnya sebagai Gubernur Aceh periode 2017-2022.
Para elite Aceh—selain Mualem dan Tarmizi—tentu harus menyadari
bahwa impian menuju kursi Aceh-1 hanya sebuah angan-angan semu. Mereka harus
tahu diri bahwa kini sudah saatnya untuk legowo, tanpa memaksakan kehendak
untuk ikut bersaing dalam memperebutkan kekuasaan pada Pilgub Aceh 2017.
Pemaksaan kehendak hanya buang-buang biaya dan energi yang berujung pada kekecewaan mendalam. Ini berdasarkan
kondisi reel perpolitikan Aceh kekinian, soal takdir bukan lagi urusan kita.[]