Kasus pembakaran atau pengrusakan terhadap tempat
ibadah non-muslim di Aceh Singkil, memang patut kita sesalkan. Apapun
alasannya, kita tidak boleh mentoleril setiap aksi kekerasan yang terjadi di
muka bumi ini. Namun, di balik itu, sesungguhnya ada pertanyaan, tidakkah semua
itu merupakan bagian dari upaya adu-domba antar-umat bergama di Aceh?
Kalau semakin banyak orang bisa berbuat kekerasan
dengan mengatasnamakan agama, tidakkah hal itu akan melebarkan perpecahan antar
umat beragama di negeri ini? Karenanya, patut kita waspadai adanya skenario memantik
konflik baru di Aceh lewat isu-isu agama yang memang sensitif dan sangat mudah
tersulut.
Apa yang terjadi di Singkil itu mengesankan, hilangnya
semangat musyawarah yang pernah menjadi kepribadian kita sebagai orang timur. Antar
sesama umat beragama semakin tidak bisa berdialog dan merasa benar sendiri,
sehingga sulit dipertemukan. Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa
kita, semakin tidak dipedulikan. Kita lebih menonjolkan ‘kebhinnekaan’, dan
lupa adanya ‘tunggal ika’ yang sebenarnya satu paket dalam menjalankan
kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi ini.
Boleh jadi, kondisi ini yang kemudian dimanfaatkan
pihak-pihak tertentu untuk memperkeruh suasana damai di Aceh. Kebetulan saja, Singkil
yang berbatasan langsung dengan kawasan berpenduduk mayoritas non-muslim di
Sumatera Utara, dijadikan pintu masuk untuk mengobok-obok Aceh lewat isu agama.
Aceh Singkil pun membara. Sejumlah rumah ibadah umat nasrani dibakar di sana.
Kalau tidak ditanggapi secara sungguh-sungguh, bukan mustahil aksi anarkis itu
akan menjalar ke daerah-daerah lain di Aceh.
Indikasi ada pihak yang ‘bermain’ dalam kasus Singkil setidaknya
tercermin dari pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut
Binsar Pandjaitan. Menurut dia, intelijen sudah mengantisipasi serta
menimalisisasi sebelum kerusuhan terjadi di Singkil. Namun, kata Luhut, ada
hal-hal yang tidak dapat dihindari sehingga terjadi kerusuhan itu.
Keengganan Menteri Luhut menjelaskan ‘hal-hal yang
tidak dapat dihindari’ tersebut tentu menjadi tanda tanya bagi kita. Jangan-jangan
memang ada strategi massif pihak-pihak tertentu dalam menggerakkan massa untuk
bertindak anarkis di Singkil, sehingga intelijen negara tidak mampu
mengantisipasinya?
Kalau demikian adanya, siapa yang sedang bermain di
Aceh? Sungguh menjadi sesuatu yang sulit diungkapkan. Lebih-lebih menyangkut
kewibawaan aparat negara dalam menjamin keamanan bagi setiap umat bergama di
negeri ini.
Pastinya, Menteri Luhut sebatas menyatakan bahwa
pemerintah, kepolisian, dan TNI sudah berusaha melakukan langkah-langkah untuk
menenangkan keadaan. Dia tidak berani menjamin keadaan akan membaik, melainkan
hanya berharap agar aksi itu selesai di Singkil.
Untuk itu, butuh kesigapan kita bersama agar tidak
terjebak dalam skenario adu-domba yang sedang diaminkan di Aceh. Jangan sampai
kita tergiring isu-isu yang dapat mengambalikan Aceh ke era konflik. Apapun
persoalannya, mari kita musyawarahkan demi kukuhnya kerukunan umat bergama di
bumi Aceh tercinta ini.[]