Jangan Permainkan Syariat Islam

Sejak Jumat 23 Oktober 2015, Aceh resmi menerapkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Perda Aceh ini sudah setahun disosialisasi setelah disahkan DPRA akhir September 2014. Qanun yang dijadikan payung hukum untuk penguatan penerapan Syariat Islam di Aceh ini mengatur tentang 100 kali cambuk dan denda emas murni bagi pelanggarnya.


Pertanyaan kita, setelah qanun ini diberlakukan akankah Syariat Islam bisa ditegakkan secara benar di Aceh? Jangan-jangan qanun ini sekedar ‘jualan politik’ para elite yang sedang berkuasa di Aceh.

Penerapan syariat Islam di Aceh yang didasari UU No.44/1999 serta dikuatkan dengan UU No.18/2001 sejatinya menjadi solusi bagi beragam persoalan kemanusiaan di daerah ini. Namun, kenyataannya, hingga sekarang kita belum mampu mewujudkan harapan besar atas kekhususan yang dimiliki Aceh tersebut.

Ini kita sebut bagian dari kekhususan untuk Aceh, karena Indonesia yang memberlakukan hukum normatif berdasarkan KUHAP memberi keleluasaan bagi kita untuk memberlakukan hukum Syariat Islam. Hanya saja, kita sendiri yang masih setengah-setengah menerapkan hukum Allah itu. Bahkan, hingga sekarang masih terkesan penerapan syariat Islam di Aceh hanya di kulitnya. Bahkan, sebagian kita masih memaknai penerapan syariat itu sebatas soal khalwat dan pakaian wanita.

Kesan ini timbul karena selama ini program penerapan syariat yang dijalankan pemerintah—melalui aparat penegak syariat—hanya tervokus pada razia pakaian wanita dan kasus khalwat. Itu pun dilakukan dengan pola-pola yang justru mencederai hakikat syariat, yakni masih adanya sikap tebang pilih petugas dalam melakukan razia, dan tindakan lain yang tidak mencerminkan aura Islam itu sendiri.

Menilik apa yang telah berlaku sejak Syariat Islam dilaksanakan di daerah ini, kita boleh curiga ini mainan politik belaka. Sungguh tega bila benar begitu. Mempermainkan hukum agama dengan menghadirkan ketidakadilan baru di muka bumi ini.

Penerapan Syariat Islam di Aceh hari ini bukan saja ditertawakan orang luar, tapi dilecehkan sebagian masyarakat sendiri. Pelaksanaan hukum sejak awal juga hangat-hangat tahi ayam, dan nyaris pupus kemudian. Sebuah proyek politikkah agama ini? Entahlah, hanya mereka yang tahu.

Sikap diskriminatif sangat kental terlihat dalam penegakan Syariat Islam di bumi Aceh ini. Kalau masyarakat awam yang melanggar syariat langsung ditindak tegas, tapi kalau menyangkaut kalangan pejabat tidak ada yang mempersoalkannya. Anak-anak kita tentu akan mengira bahwa beginilah cara bersyariat yang sebenarnya. Padahal, ini hanya kesalahan pemimpin dalam menerapkan hukum Allah tersebut.

Sejak awal sebenarnya kita amat berharap hukum Syariat Islam mampu memberi keadilan dan mengisi apatisme masyarakat terhadap hukum yang ada. Namun ternyata harapan itu sia-sia. Masyarakat tampaknya tidak mau tahu, kecuali yang masih berpura-pura seolah sistem yang berjalan sekarang bisa dipulihkan dengan mengembar-gemborkan Syariat Islam. 


Kita sama-sama maklum, bagaimana keadaan negeri yang seharusnya sudah makmur puluhan tahun lalu. Namun nyatanya masih terpuruk hingga kini. Dan akan terus terpuruk bila penguasa masih mempermainkan Syariat Islam untuk kepentingan politik. Harapan kita kepada pemimpin Aceh, semoga dapat menjalankan Syariat Islam dengan semestinya. Jangan lagi mempermainkan hukum Allah. Hanya ini yang dapat menyelamatkan kita di dunia hingga di akhirat kelak.[*]