Tidak bisa dipungkiri, konflik
kepentingan telah menyandra pengesahan anggaran perubahan pemerintah daerah.
Tidak saja APBA-P, tapi juga APBK-P di sejumlah kabupaten/kota di Aceh baru
bisa ‘ketuk palu’ di ujung tahun.
Untuk APBA-P, pada Sabtu (24/10) lalu,
Tim Badan Anggaran (Banggar) DPRA bersama Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA)
menandatangani nota kesepahaman terhadap Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan
Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS), yang akhirnya baru disahkan pada
Rabu (4/11/2015). Keterlambatan ini lebih disebabkan perebutan manfaat antara
eksekutif dan legislatif atas proyek-proyek yang dibiayai anggaran perubahan
tersebut.
Komitmen fee bagi para eksekutif dan
legislatif atas proyek pemerintah sudah menjadi suatu keharusan. Penikmat fee
tersebut adalah para pejabat yang terlibat langsung dalam proses penganggaran
hingga orang-orang yang memiliki kaitan dengan proses tender proyek-proyek itu
nantinya.
Belakangan ini, fee proyek yang diterima
para pejabat sudah menjadi rahasia umum, bahkan seolah memang sah-sah saja.
Padahal, itu sama saja dengan suap-menyuap yang hanya berganti nama. Terkadang
terlalu fulgar, sehingga tersentuh proses hukum. Itu pun kemudian seolah
kasusnya hilang begitu saja, dan timbul-tenggelam sepanjang perjalan bangsa.
Budaya korup semacam ini sebenarnya
bukanlah prilaku baru di negeri ini. Prilaku serupa telah terjadi sejak lama,
di segala strata, bahkan terkadang dengan paksaan secara terbuka. Di tingkat
rakyat disebut perampok, di tingkat pimpinan disebut koruptor. Ya, negeri kita
lebih layak disebut negeri preman. Lihatlah, pajak preman dan perampokan
terjadi di mana-mana.
Korupsi, budaya sunat hingga pajak
preman, bermula dari anak yang lahir dari sebuah keluarga, besar dalam sebuah
komunitas dan bangsa. Inilah bangsa yang hampir kiamat secara moralitas. Rasa
kemanusiaan tidak meningkat dari zaman ke zaman, budaya malu yang terus
tererosi oleh kemajuan dan eforia zaman yang serba matre.
Seorang pemimpin umat yang berbicara
keras soal moralitas, tapi kalah ketika tawaran jabatan, atau bahkan rela
menggunakan berbagai cara, untuk menunjang kemapanan kehidupan keluarganya.
Tanpa merasa bersalah, tanpa malu, pura-pura bodoh, dan makin kurang
berperasaan selaku manusia.
Tidak ada yang berani menghukum dengan
tegas atas perilaku tersebut, karena kita semua telah terlibat di dalamnya.
Bila hukum benar tegak, dipastikan 90 persen penduduk Indonesia harus masuk
penjara. Nanti kita bisa disebut penjara terbesar di dunia.
Maka teruslah terjadi, yang sejahtera
bertambah sejahtera, yang terpuruk semakin terjepit. Budaya malu terus luntur,
tipu menipu dan kemunafikan merajalela. Keadilan dan moralitas telah tiada di
negeri yang syukur-syukur masih bertahan ini meski digerogoti kanan-kiri.
Kapan tingkat kemanusiaan dan moralitas
kita membaik? Mungkin bila muncul pemimpin dengan tauladan, menyatakan benar
hal yang benar, dan menghukum dengan berat siapa pun yang berbuat salah.
Dapatkah kita pemimpin seperti itu? Untuk saat ini, mustahil pemimpin seperti itu
kita temukan di negeri ini.[*]