Memanusiakan Penghuni Penjara

Kericuhan dan berbagai aktivitas yang memicu persoalan besar senantiasa mengiringi proses pembinaan penghuni Lembaga Pemasyarakatan (LP) atau Rumah Tahanan (Rutan). Hal ini umumnya dipicu pola penanganan aparat yang belum memposisikan narapidana sebagai warga binaan.


Selain berisi beragam manusia dengan berbagai tingkat ‘kerawanan’, kondisi LP atau Rutan di negeri ini memang serba salah. Di satu sisi, ingin memasyarakatkan kembali manusia yang dianggap pernah melakukan kesalahan. Di sisi lain, cara-cara yang ditempuh terkadang sangat kurang manusiawi. Mulai maraknya aksi pungli, penyiksaan terhadap penghuni LP, hingga jual-beli remisi seakan sudah menjadi hal wajar yang dipraktekkan oleh petugas LP dan jajarannya hingga ke level atas.

Inilah yang memicu berbagai persoalan besar di LP atau Rutan. Seperti halnya insiden di Lapas Kelas IIA Banda Aceh di Lambaro, Aceh Besar, Jumat (6/11/2015). Ratusan narapidana di penjara itu mengamuk dengan melempari atap kantor Lapas. Sejumlah polisi yang dikerahkan mengamankan penjara itu sempat melepaskan tembakan untuk meredakan lemparan batu dari dalam penjara. 

Menurut Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh Suwandi, narapidana mengamuk karena permasalahan air bersih. Pasokan air bersih ke kamar mandi di sel narapidana terhenti sejak dua hari terakhir karena pompa air rusak. “Hanya persoalan air yang memicu kerusahan kali ini,” sebutnya.

Tentu tidak banyak yang heran dengan kejadian ini. Hampir semua LP atau Rutan di Indonesia memang cukup rawan dengan berbagai aksi yang di luar akal sehat, terlebih menyangkut persoalan air yang menjadi kebutuhan utama manusia. Dengan kondisi LP yang penuh sesak, juga sangat memungkinkan terjadi berbagai transaksi di situ. Antar napi, antar napi dan penjaga, dan bahkan antar napi dengan ‘manusia rawan’ di luar penjara.

Hal ini bukan saja akibat kesalahan pengelola lembaga, tapi juga sebagiannya dipicu ulah para napi dan tahanan dengan beragam tingkat kerawanannya. Kita sering mendengar dan membaca, narkoba yang diedarkan dari dalam LP, hingga napi yang leluasa lalu-lalang ke luar masuk LP. Penjara  juga kerap menjadi lokasi perkelahian antar napi.

Kondisi ini sebenarnya menggambarkan situasi dunia keras di luar penjara itu sendiri. Kerap, penjara justru menjadi ‘sekolah lanjutan’ untuk meningkatkan kualitas kerawanan, bukannya berubah menjadi manusia yang kembali bisa bermasyarakat. Maka, kita biasa mendengar keluhan polisi yang selalu menangkap orang-orang itu saja, dalam modus kejahatan yang sama. Bahkan para mantan narapidana banyak yang mengenal baik penangkapnya dan penjaga sel yang bakal dihuninya lagi.

Bagaimana mengubah lembaga pemasyarakatan kita menjadi lebih manusiawi, dan benar-benar mampu memasyarakatkan kembali mereka yang pernah menyimpang dari norma hidup dan hukum bermasyarakat? Ini seperti menata bagian lain hidup bernegara dan pemerintahan, kita sadari itu sangat sulit. Antara wawasan, moralitas, kesadaran bermasyarakat dan tingkat kemanusiaan anak bangsa ini sangat berkaitan dengan berbagai penyelewengan yang terjadi di berbagai bidang di negeri ini.

Tidak bisa dipungkiri, persoalan Rutan atau LP adalah bagian dari problem besar negara ini. Ini sambung-menyambung dengan problem lainnya dan kait-berkait dengan berbagai pelayanan pemerintah terhadap masyarakat lainnya. Muaranya adalah persoalan penegakan hukum dan moralitas anak bangsa. Itu yang perlu dibina dan ditegakkan bersama. Bisakah?[*]