Mengawal Proses Hukum Ijazah Ruslan

Proses hukum kasus ijazah olah Bupati Bireuen Ruslan M Daud memasuki babak baru. Berkas kasus tersebut sudah berada di Polda Aceh, baik pelimpahan dari Mabes Polri maupun hasil penyelidikan awal yang dilakukan jajaran Polres Bireuen.


Namun, pihak Polda terkesan gamang dalam menangani kasus ini. Secara inplisit jelas terbaca, ada pihak-pihak yang ingin diselamatkan dalam kasus ini. Akibatnya, timbul keinginan jajaran kepolisian untuk mengakhiri proses pengusutan kasus yang telah merontokkan martabat pemerintahan di Kabupaten Bireuen tersebut.

Bisa jadi, kasus ini ibarat makan buah simalakama. Bila serius diusut tuntas, tentu akan banyak pihak yang terseret. Tidak saja pengguna ijazah dan pihak yang mengeluarkannya, tapi juga para pihak terkait lainnya yang meloloskan ijazah itu sebagai syarat pencalonan kepala daerah. Bila dihentikan dan dibiarkan kasus ini dalam kondisi abu-abu, bukan mustahil pula akan menjadi boomerang bagi kepolisian itu sendiri.

Sebab, hampir semua orang yang pernah sekolah paham betul tata cara proses pengeluaran ijazah. Apalagi untuk ijazah pengganti, sebagaimana pengakuan pimpinan lembaga yang mengeluarkan ijazah Ruslan. Tentu banyak warga Aceh yang kehilangan ijazah saat konflik dan tsunami, sehingga tahu persis aturan pengeluaran ijazah pengganti yang dibenarkan oleh perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Untuk ijazah pengganti bagi Ruslan M Daud yang dikeluarkan LPI Mudi Mesra pada 2012 tentu harus merujuk Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 1 Tahun 2012 yang mengatur tentang pengesahan ijazah dan proses pengeluaran ijazah pengganti. Dalam Peraturan yang ditetapkan 16 April 2012  itu jelas disebutkan syarat-syarat dan tata cara mengeluarkan ijazah pengganti yang hilang, rusak atau terbakar. Di luar aturan tersebut dianggap tidak sah, apalagi sarat rekayasa seperti ijzah pengganti yang dikeluarkan untuk Ruslan M Daud.

Jadi, jangan karena ijazah dianggap sebagai benda mati, lalu bisa direkayasa sesuai kebutuhan. Tidak, sebab pemegang ijazah dan orang yang mengeluarkannya bukanlah benda mati. Ini dikeluarkan dan digunakan oleh makhluk paling sempurna citaptaan Allah. Tentu bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Lagi pula ijazah merupakan dokumen negara yang memiliki aturan perundang-undangan dalam mengeluarkannya. Jangan semuanya dianggap bisa dibuat sesuka dan secara ‘abu-abu’ di republik yang menjunjung tinggi supremasi hukum ini.

Ijazah ini menyangkut kewibawaan bangsa dan lembaga negara.  Sejatinya, martabat dan harga diri bangsa itu harus dipelihara para penyelenggara pemerintahan dan para panutan umat. Dalam sikap dan perbuatan, seorang panutan harus berjalan dalam bungkusan moral, etika, dan norma-norma hukum atau perundang-undangan yang berlaku di republik ini.

Kalau para panutan melabrak aturan perundang-undangan, maka jangan heran jika sekarang ini kemunafikan muncul merata dari atas hingga ke bawah. Kalau orang yang seharusnya menjadi suri tauladan bersikap lacur,  maka wajar saja rakyat berprilaku  asusila dan melawan hukum. 

Khusus untuk kasus ijazah olah Ruslan, kita berharap dapat dilakukan penelusuran yang tuntas. Bila memang melanggar aturan, maka proses hukum yang adil harus ditegakkan. Bahkan, tauladan yang seharusnya menjadi contoh bagi rakyat itu harus dihukum lebih keras dibanding rakyat biasa yang melakukannya. Jangan sebaliknya, justru rakyat yang sangat rentan dengan hukum, dan kerap berakhir sangat jera. Sementara para tauladan bisa mendapat berbagai keringanan. Entah karena sama-sama dalam sistem, entah karena hal lainnya—yang sudah dianggap lazim di negeri ini.

Sekali lagi, kita berharap proses hukum ditegakkan secara adil kepada siapa pun yang melanggar hukum di negara ini. Bila tidak, maka bersiaplah mengahdapi proses hukum sesungguhnya kelak yang sudah menanti kita semua.[*]