Mencoreng Citra Profesi Kewartawanan

Akhir pekan lalu, ada berita mengejutkan seputar dunia kewartawanan di Aceh. Pemimpin Redaksi Tabloid Modus Aceh Muhammad Saleh diberhentikan dari keanggotaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Saleh dinyatakan melakukan pelanggaran berat terhadap ketentuan PD/PRT PWI, berupa tindakan yang merusak citra wartawan dan profesi kewartawanan.


Pemberhentian Saleh tertuang dalam Surat Keputusan (SK) PWI Pusat Nomor 192-PLP-/PP-PWI/2015 tanggal 20 November 2015 yang ditandatangani Ketua Umum PWI Pusat Margiono, Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat Susengko Tedjo dan Sekretaris Jendral PWI Pusat Hendry Ch Bangun.

Sebenarnya, kasus semacam ini adalah sesuatu yang lazim dalam sebuah organisasi profesi. Dunia kewartawan sebagai bagian dari sebuah profesi, tentu penuh lika-liku. Mulai dari penghasilan hingga kehormatan yang terkadang bisa diperjualbelikan.

Bila kita melongok kehidupan wartawan, persis seperti kehidupan elemen lain dalam masyarakat kita. Banyak yang sudah menikmati kemapanan hidup, setidaknya tidak seperti masa lalu. Apalagi insan pers yang mampu berbicara dan masuk dunia politik. Mereka kemungkinan besar lebih beruntung. Kemudahan memperoleh informasi, bila dimanfaatkan untuk pepentingan finansial tentu akan membawa keberuntungan lebih. Apalagi jika moralitas, tanggung jawab dan rasa malu bukan suatu yang penting dipertahankan.

Ya, sama persis dengan elemen lain. Jadi, hingga di sini tidak ada yang aneh untuk ukuran negeri ini. Dalam masyarakat juga tidak pernah menjadi bahan gunjingan. Biasanya, kondisi itu menjadi ungkapan yang wajar, sama wajarnya bila melihat pegawai negeri bergaji pas-pasan tapi bisa membuat rumah mewah dan mengoleksi mobil banyak. Atau insan pers yang agak kebal hukum, mulai hukum lalu lintas hingga kekebalan lainnya. Itu hal biasa di negeri ini. Bahkan, menjadi sebuah kebanggaan, dan bukan sebuah perasaan bertanggung jawab atau rasa malu bila digunjingkan.

Pers memang telah mewarnai perjalanan dan martabat bangsa ini. Tapi kita justru aneh mendengar kata idealisme atau merasa hal itu hanya sebutan klise. Ini akibat langkanya masyarakat menemukan padanan kata atau sebutan idealisme dengan kenyataan kiprah sebagian insan pers saat ini. Ya, sama saja dengan elemen lain di negara ini. Sebagian insan pers juga tidak lepas dari sikap oportunis, munafik, atau kecongkakan akibat penghormatan yang kadang juga tidak menurut standar ideal lagi.

Karena itu, kasus Pemred Modus yang diduga merusak citra dan profesi kewartawanan sebenarnya hanya bagian kecil dari berbagai persoalan yang masih melilit kehidupan pers di tanah air. Cukup banyak kasus lain yang mencoreng tinta hitam dalam perjalanan pers kita, termasuk di Aceh. Mungkin faktor naas saja bagi Saleh, sehingga harus menerima sanksi pemecatan dari keanggotaan PWI.

Masyarakat tentu dapat menilai, sanksi itu menunjukkan profesionalitas kewartawanan Saleh sudah tidak lagi diakui oleh PWI. Ini sekaligus menjadi pukulan telak bagi Saleh, karena pemecatan itu justru terjadi di saat dia sudah memantapkan diri maju sebagai kandidat ketua pada Konferensi Provinsi (Konferprov) PWI Aceh, 2-3 Desember 2015.

Namun, barang kali hal itu bukanlah perkara besar bagi Saleh. Toh, kiprahnya sebagai wartawan sekaligus pemimpin redaksi sebuah tabloid mingguan masih tetap berlanjut. Soal sanksi moral dari masyarakat, tentu bisa diperbaiki seiring perjalanan waktu. Terlebih kateristik masyarakat kita yang gampang hilang ingatan, sehingga begitu mudah lupa dengan perkara terdahulu ketika muncul peristiwa baru.

Ini berbanding terbalik dengan tatanan masyarakat yang sistem sosialnya mapan dan memori kolektifnya kuat, semacam Bangsa Jepang. Dalam kehidupan mereka, seseorang yang pernah punya cacat sosial akan sangat sulit tampil kembali ke pentas publik. Bahkan, tak sedikit yang menempuh jalan harakiri hanya akibat aib kecil yang pernah dilakukannya. Itu pula yang membuat mereka bisa maju dan berkembang sejauh ratusan tahun di depan bangsa kita.[]