Situasi politik Aceh mulai memanas, mendekati Pilkada
Aceh 2017. Manuver-manuver politik yang dimainkan sudah mengerah kepada hal-hal
yang tidak wajar. Perpecahan di kalangan elite Aceh juga tidak lagi
mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan dan moralitas.
Bagi elite yang sedang berkuasa, agenda-agenda politik
yang dijalankan kerap menggunakan finansial milik negara. Ini bisa terlihat
pada agenda-agenda pemerintah yang di dalamnya diselipkan pesan-pesan politis
elite tertentu. Bantuan-bantuan kesejahteraan bagi masyarakat miskin sering
mereka jadikan media pencitraan. Kesan yang dimunculkan lebih kepada
kepentingan kelompok tertentu, ketimbang kepentingan Aceh secara keseluruhan.
Sementara para elite yang berada di luar pemerintahan,
gencar menyerang program-program pemerintah. Sekecil apapun kesalahan atau
kealpaan mereka, langsung menjadi heboh karena dipelintir ke mana mana. Kesan
yang ditangkap masyarakat pun sangat tendensius dengan mengabaikan etika
politik ketimuran yang terkenal santun dan berbudaya.
Pecah kongsi antara Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub
Munakir Manaf yang terang-terangan, makin memperburuk situasi Aceh. Perseteruan
kedua pucuk pimpinan itu tidak saja berimbas pada kepincangan roda pemerintahan
dan terganggunya stabilitas politik, tapi juga menghabat pertumbuhan ekonomi di
Aceh. Efek paling nyata adalah terlambatnya pengesahan APBA-P 2015 dan APBA
2016.
Karena itu, kita mengimbau para elite di Aceh untuk
segera mengakhiri situasi yang demikian. Sudah saatnya kita meninggalkan pola
berpolitik masa lalu yang kurang bertanggung jawab, gampang terpengaruh, picik,
dan hanya mau menang sendiri. Mari berpikir jauh ke depan, merencanakan
pembangunan Aceh untuk jangka panjang, hingga ke anak cucu kelak.
Semua elemen di Aceh harus bisa melakukan perubahan
sesuai parameter arah dan kualitas pembangunan setelah 10 tahun perdamaian
berlalu. Semua harus bersatupadu meningkatkan idealisme, membangun peradaban
dan kualitas hidup di Aceh dengan melunturkan egoisme pribadi dan kelompok.
Tentu bukanlah perkara mudah bagi seorang elite untuk
bisa keluar dari kepentingan pribadi dan kelompoknya. Di sinilah kita bisa
melihat, mana yang benar-benar sosok pemimpin sejati dan mana pemimpin
abal-abal. Rakyat akan melihat, hanya figur-figur tertentu yang mampu melampaui
kepentingan jangka pendeknya. Elite semacam inilah yang dibutuhkan Aceh hari
ini, elite yang tidak saja kuat secara politik namun juga mempunyai kualitas
negarawan yang visioner dan tak terikat pada kepentingan sempit dan sesaat.
Saat ini kita prihatin dengan situasi di ibukota,
khususnya perseteruan politik dan tipu muslihat antara sesama elite partai
nasional, baik yang duduk di parlemen maupun di Pemerintahan Jokowi-JK. Apakah
elite di Aceh juga masih saling melakukan hal yang sama seperti mereka di pusat
kekuasaan?
Semoga saja elite kita tidak demikian. Sebab, saat ini
kita membutuhkan sinergi yang kuat dan tegas dalam melakukan perubahan di Aceh.
Bila tidak, maka para elite Aceh hari ini layak kita sebut sebagai pengkhianat
rakyat. Bila saat ini—saat situasi damai—saja bisa berkhianat pada rakyat,
bagaimana pula di saat perang dulu? []