Masyarakat Aceh kembali memperingati milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke-39,
Jumat (4/12/2015). Peringatan yang dipusatkan di berbagai lokasi di Aceh ini bukan
lagi untuk membangkitkan semangat pemberontakan terhadap Pemerintah Indonesia, tetapi
lebih kepada upaya penguatan perdamaian di bumi Serambi Mekkah.
Namun, ini bukan berarti tidak ada lagi rasa curiga Pemerintah Pusat
terhadap ideologi para mantan GAM. Jakarta masih saja meragukan nasionalisme sebagian
besar masyarakat Aceh. Makanya, Jakarta mengintruksikan jajarannya di Aceh
untuk melarang pengibaran bendera Aceh
pada milad GAM tersebut. Bendera Bulan Bintang masih dianggap sebagai simbol
perlawanan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Indonesia, sehingga diharamkan
pengibarannya walau sudah disahkan melalui qanun Aceh.
Sikap saling curiga sebenarnya bukan hanya terjadi antara Jakarta dan Aceh,
tetapi juga antar sesama masyarakat Aceh sendiri. Walau perdamaian Aceh telah
berlangsung 10 tahun lebih, kita masih saja tidak saling percaya satu sama
lain. Jangankan antar kelompok, antara sesama saudara pun saling curiga-mencurigai,
sama-sama ingin menang sendiri.
Menumbuhkan sikap saling percaya atau mengakhiri rasa saling curiga hingga
kini masih sulit terwujud di Aceh. Bisa jadi, hal ini dikarenakan perdamaian di
Aceh tercipta setelah perdebatan panjang di tengah upaya penentangan oleh
sebagian pihak. Boleh dikatakan, saat ini Aceh
memang sedang dibangun dalam bingkai perdamaian yang saling curiga-mencurigai.
Lalu, apakah saling curiga yang tidak mungkin dihilangkan di Aceh akan
menggagalkan perdamaian? Tidak, sama sekali tidak. Orang Aceh telah terbiasa
hidup dalam saling curiga-mencurigai. Meukon
ie babandum leuhop, meukon droe
babandum gop. Inilah pelajaran kecurigaan
yang ditanamkan di pikiran orang Aceh. Hanya keajaiban yang bisa
menghilangkannya.
Meski begitu, satu hal yang tidak boleh luntur dalam diri kita adalah
semangat merawat dan menjaga perdamaian yang telah terwujud ini. Saat ini, walau keadilan masih di batas angan-angan,
namun perdamaian telah memberi jalan lain bagi kita untuk melihat dunia luar
yang melesat dalam peradaban penuh nilai-nilai kemanusiaan.
Walau di tengah kecurigaan, kita
harus memiliki komitmen yang sama menjaga ketertiban umum. Pertikaian yang
berpotensi memicu konflik baru harus cepat-cepat diselesaikan, sehingga tidak
mengganggu proses perdamaian yang sedang berlangsung di bumi Aceh.
Kita semua tidak boleh melupakan masa-masa kelam. Ketika jalanan sepi dan
peti mati pun tak sempat dibuat untuk mereka yang meregang nyawa setiap hari.
Jangan lupakan tatkala setiap sudut jalanan kota Banda Aceh pernah merasakan
senyap tanpa kendaraan yang berani lalu-lalang. Apalagi di daerah pelosok, yang
selalu dalam keadaan mencekam.
Tentu kita tidak ingin kembali ke masa lalu itu. Masa kelam, di mana
pembangunan fisik dan jiwa justru mundur ke zaman tanpa peradaban. Makanya,
jangan lagi memperkeruh suasana damai yang sudah tercipta di Aceh. Kasihanilah
anak cucu kita kelak yang harus menerima warisan konflik akibat keculasan kita.
Sekali lagi, saling curiga boleh-boleh saja, tapi semangat perdamaian tak
boleh sedikit pun mengendur dalam diri kita. Aceh yang damai adalah harga mati
yang tidak boleh ditawar-tawar.[*]