Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Aceh
masih dua tahun lagi. Namun, kegaduhannya sudah terasa dan makin menghangat
belakangan ini. Tidak saja di level provinsi, di kabupaten/kota juga sudah
terlihat pergerakan politik yang mengarah pada persiapan menyongsong pesta
demokrasi itu.
Menyimak konsep yang ditawarkan para elite Aceh hari
ini, baik para bakal calon gubernur/wakil gubernur maupun para bakal calon
bupati dan walikota beserta wakilnya, semuanya masih terkesan menjual mimpi.
Kita melihat penyakit lama masih saja mereka jalankan
dalam membangun komunikasi politik. Rakyat kembali disuguhi janji-janji dengan
aroma angin surga yang menyejukkan. Padahal, kita semua tahu, janji-janji
tersebut hanya retorika politik yang kebanyakan tidak mungkin mampu dipenuhi
saat mereka terpilih nanti.
Semua yang ditawarkan sekarang ini sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan yang digembar-gemborkan oleh para pemimpin sebelumnya dan
yang sedang memimpin sekarang. Mereka hanya pintar bertolak kisah di saat-saat sedang
membutuhkan rakyat, tapi minim realisasi ketika terpilih jadi pemimpin.
Kita lihat hari ini, kebanyakan rakyat tetap hidup
susah di negeri yang kaya sumber alam ini. Hanya segelintir orang di lingkaran
kekuasaan yang bisa menikmati hasil kekayaan alam tersebut. Sementara sebagian
besar penduduk lainnya, bahkan tak tercukupi kebutuhan sandang pangan walau
sudah berupaya dengan susah payah.
Fenomena tersebut tentu buah dari kegagalan para pemimpin
Aceh selama ini. Umumnya, tujuan mereka maju sebagai calon kepala daerah hanya
ingin berkuasa. Soal mampu atau tidak mengurus daerah ini dengan baik, itu soal
belakangan.
Mereka berlomba-lomba menjadi penguasa karena
menganggap negara ini mampu memberi jaminan hidup dan kebanggaan. Tapi mereka
seringkali lupa berapa besar hutang negara atas pembiayaan bagi pengelola
negara ini. Dan sakitnya, ketika hutang negara membesar, hanya dibebankan
kepada kita, rakyat kecil di negeri yang besar ini.
Inilah negeri kita. Kerja segala sektor selalu
amburadul dan sekenanya, mulai pemimpin hingga rakyat jelata. Sementara
kehidupan materialistis selalu jadi dambaan, bahkan mengalahkan dambaan kepada
tuhan. Kemunafikan telah begitu merajalela di negeri yang konon memegang kuat
kaidah hukum (keadilan) dan mayoritas rakyat sangat taat beragama ini. Tidak
pernah merasa bersalah, merasa diri selalu lebih layak dari yang lain, malas
berintrospeksi dan dirinyalah yang hebat, pintar dan selalu benar, yang lain salah dan bodoh.
Kita percayakan Aceh ini dipimpin oleh orang-orang dari
kalangan garis perjuangan, pun terbukti tidak membawa perubahan yang berarti
bagi kebaikan Aceh. Bahkan sebaliknya, nilai-nilai perjuangan sudah tidak lagi
mereka pegang ketika diberikan amanah sebagai pemimpin.
Seperti mengulang sejarah dunia saja, Napoleon
Bonaparte dari Prusia Prancis yang tadinya adalah pejuang, namun setelah
berkuasa berubah jadi diktator. Polpot di Kamboja tadinya juga pejuang, namun
akhirnya menjadi diktator sekaligus pembantai di negerinya. Bisa saja, kisah
serupa juga sedang terulang di Aceh hari ini.
Karenanya, kita jangan lagi mudah percaya dengan
janji-janji para calon pemimpin. Kita tidak boleh jatuh ke lobang yang sama.
Pada Pilkada serentak mendatang, kita harus lebih selektif dalam menjatuhkan
pilihan. Jangan sampai Aceh kembali dikelola oleh orang-orang yang bukan
ahlinya.[*]