Ketika Sadisme Menjadi Pilihan

Hampir setiap hari, kejahatan sadisme terjadi di sekitar kita. Seolah, begitu gampang kita bertindak di luar batas kemanusiaan. Perselisihan antarindividu atau antarwarga yang mestinya bisa diselesaikan secara damai, kini cenderung ditempuh dengan cara-cara kekerasan yang kebanyakan berujung maut.


Kisah pembunuhan Nurdin Bin Abdurrahman (30) oleh dua abang kandungnya di Aceh Timur, hanyalah bagian kecil dari kasus-kasus penghilangan nyawa manusia secara keji yang pernah terjadi di Aceh. Belum lama ini, kita juga dikejutkan dengan pembunuhan pelajar MTs oleh siswa SMA yang jasadnya dibuang ke sumur di Aceh Utara.

Insiden yang membuat naluri kemanusiaan kita tersentak itu menyebar di seluruh Aceh. Dari beberapa kasus terakhir, kita milihat pelaku dan korbannya juga tidak terbatas, sesama teman bermain hingga antarkeluarga pun sudah saling bunuh.

Peristiwa ini memang bukan hal baru di Aceh. Semasa konflik, nyaris setiap hari kita disuguhi insiden semacam itu. Namun, kalau hal serupa masih berlangsung di era damai tentunya patut kita telusuri penyebabnya. Apakah masyarakat kita memang sedang menghadapi gejala psiko-patologis akut?

Boleh jadi, rentetan peristiwa sadisme itu merupakan derivasi sistemik akibat tekanan hidup yang dilatarbelakangi struktur relasi kekuasaan. Meski konflik Aceh telah berlalu, namun kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat masih begitu rumit.

Sementara pemerintah agaknya belum memiliki konsep terfokus untuk merespons gejala ini. Para pengambil kebijakan di Aceh masih cenderung bersikap normatif terhadap persoalan ini, tanpa mengambil langkah-langkah sistematis, cepat, dan terukur dalam menyelesaikannya.

Padahal, kalau kita mau jujur, berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat Aceh hari ini merupakan akumulasi dari berbagai masalah yang bersumber dari kegagalan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Kesulitan ekonomi yang terus meningkat dan konflik sosial yang kian luas menjadi hal mendasar yang mempengaruhi gejala psiko-patologis akut yang kini mendera masyarakat kita.

Kondisi ini diperparah oleh naiknya tekanan adrenalin masyarakat yang terwujud dalam sikap kecewa, marah, stres, depresi, bahkan frustrasi karena ketimpangan dalam pengelolaan uang negara. Korupsi merajalela, bahkan berjamah dan berkesinambungan sehingga bermuara pada penderitaan rakyat yang berkepanjangan.

Berbagai penyelewengan dana rakyat oleh para pihak di lingkaran kekuasaan merupakan bentuk nyata sikap nekrofilia pengelola pemerintahan di Aceh. Hal itu tidak hanya menghancurkan kepercayaan rakyat, namun juga membuat masyarakat frustrasi pada janji-janji perbaikan hidup yang terus ditebar penguasa.

Di sisi lain, ketimpangan hingga jual-beli hukum makin terlihat transparan di mana-mana. Muncullah skeptisme di masyarakat, bagaimana mungkin mencari keadilan, ketika di lembaga peradilan justru banyak terjadi ketidakadilan. Maka, penyelesaian masalah dengan naluri primitif pun dipilih masyarakat untuk mencapai kepuasan.

Inilah yang menyebabkan masyarakat lebih mengedepankan emosi dengan mengabaikan rasio dalam menyelesaikan suatu masalah. Prilaku sadisme seakan menjadi pilihan ketika sistem pemerintahan dan supremasi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bisa dipastikan, takkan ada jalan keluar dari persoalan ini, jika kepercayaan rakyat pada negara—pengelola pemerintahan dan aparat hukum—masih sebatas angan.[]