Setelah 11 Tahun

Sabtu, 26 Desember 2015, ingatan kita kembali tertuju pada peristiwa maha dahsyat 11 tahun silam. Kala itu, hempasan gempa dan gelombang tsunami memporak-porandakan sebagian besar wilayah Aceh. Dalam sekejap, ratusan ribu nyawa manusia melayang dan puing-puing bangunan bersekan. Hanya menyisakan wajah-wajah pucat yang dibayangi dosa.


Setelah 11 tahun berlalu, ternyata kita masih saja gamang dalam menghadapi berbagai cobaan Allah. Tsunami yang mahabesar itu belum mampu mengajari kita untuk lebih sigap mengelola diri sendiri ketika menghadapi bencana, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.

Saat gempa datang, misalnya, kita hanya bisa panik menghadapinya. Warga berlarian ke luar rumah, melompat ke kendaraan, dan saling berebut untuk cepat sampai ke lokasi lebih tinggi walau tidak berpotensi tsunami.

Fenomena ini menunjukkan betapa gamangnya kita dalam mengelola diri sendiri menghadapi peringatan Allah. Satu sisi memang menarik, karena kala itu tidak ada lagi beda kasta di antara kita. Pejabat dan rakyat biasa ikut panik, bahkan sempat terlunta-lunta dalam menyelamatkan diri. Sayangnya, itu hanya terlihat saat bencana, selanjutnya pejabat dan rakyat makin terpisahkan oleh strata hidup masing-masing.

Seharusnya, tsunami 11 tahun silam menjadi pelajaran dan renungan buat kita semua. Sebagai muslim, kita sadar betul bahwa setiap bencana yang terjadi tidak sekedar fenomena alam yang lahir tanpa sebab dan musabab. Kita jangan hanya merunutnya dengan logika berpikir yang bersifat rasional, tetapi perlu perenungan sesuai tuntutan Wahyu Allah.

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rizkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”.

Tidakkah firman Allah dalam Surat An-Nahl ayat 112 ini menjadi runutan kita dalam menyikapi berbagai bencana? Ini yang perlu kita maknai bersama.  Paling tidak, kita harus selalu ingat bahwa Allah memberi bencana kepada kita punya banyak tujuan. Di antaranya untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, memberi peringatan, memberi azab karena kita berbuat dosa, dan memberi petunjuk. Jadi, kalau kita bersikap pasif dan lalai dengan bencana yang setiap saat mengancam, maka kita akan kehilangan petunjuk ilmu yang diberikan Allah.

Karenanya, mari kita introspeksi diri atas bencana gempa dan tsunami yang pernah meluluh-lantakkan Aceh. Ingatlah, lempeng bumi yang kita duduki ini akan terus bergerak. Dari dalam kerak bumi hingga atsmosfier sedang bersiap-siap menyeimbangkan diri, yang berakibat kerusakan di muka bumi. Bagi kita manusia, mari bergandeng tangan, memupuk kembali adat gotong-royong dan saling membantu antar sesama untuk bisa selamat dari ancaman bencana.

Sekali lagi, mari kita memaknai setiap bencana sebagai peringatan Allah. Mari menata hidup kita sesuai tuntuan Allah dan Rasul-Nya. Berlombalah berbuat baik dengan sesama. Hanya dengan memperbanyak amalan saleh yang akan menyelamatkan kita dari azab dunia, kubur, dan di akhirat nanti.[*]