Kepekaan sosial dan tenggang rasa, tampaknya semakin
diabaikan oleh wakil-wakil kita di Parlemen Aceh. Sebagian besar mereka lebih
memilih jalan-jalan ke luar negeri untuk menghambur-hamburkan uang daerah,
ketimbang menyelesaikan berbagai pembahasan penting di DPRA.
Tak tanggung-tanggung, lima komisi di DPRA bertolak ke
lima negara berbeda. Komisi I berangkat ke Amerika Serikat pada Senin, 25 Juli
2016. Lalu Komisi II mewacanakan perjalanan ke Australia pada September nanti.
Sementara Komisi III berangkat menuju Swiss, Komisi IV bertolak ke Maroko, dan
Komisi VII dijadwalkan ke luar negeri pada akhir Agustus nanti. Kabarnya,
pelesiran bertajuk kunjungan kerja itu dilaksanakan dengan menggeser jadwal
pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran
Sementara (PPAS) 2017.
Ironisnya, ketidakpatutan itu dipertontonkan para legislator
kita di saat kebanyakan masyarakat Aceh sedang dihimpit berbagai persoalan
hidup. Lihat saja, tidak sedikit dari kita yang masih kesulitan memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Lebih-lebih setelah lebaran dan tahun ajaran baru
seperti sekarang ini, wajah-wajah nelangsa masyarakat Aceh terlihat di
mana-mana. Tergambar jelas kesulitan ekonomi yang mereka hadapi di tengah
melambungnya harga kebutuhan pokok.
Fakta tersebut menunjukkan bahwa jurang antara kaya dan
miskin masih menganga lebar di daerah ini. Padahal, Pancasila dan UUD 1945 dengan
tegas mengamanatkan dilaksanakannya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Bukan kesejahteraan bagi orang perorang, kelompok
atau golongan.
Sebagai wakil rakyat yang juga pejabat negara, memang
lumrah mendapatkan fasilitas lebih, termasuk jalan-jalan ke luar negeri. Namun,
patutkah dalam situasi dan kondisi serba sulit seperti sekarang ini mereka menghambur-hamburkan
uang daerah? Sementara masih banyak masyarakat Aceh hidup serba kekurangan,
bahkan masih ada yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya.
Seharusnya, para wakil rakyat yang menyandang predikat
orang terhormat itu sadar diri, untuk apa mereka berada di Parlemen Aceh? Untuk
apa mereka dipilih oleh rakyat? Ya, untuk memikirkan dan memperjuangkan nasib
rakyat. Bukan malah mempertontonkan prilaku yang melukai perasaan rakyat.
Beramai-ramai ke luar negeri dengan menghabiskan uang
daerah yang tidak sedikit itu sangat mengecewakan rakyat. Aksi itu
mengindikasikan legislator Aceh lebih mengutamakan pemuasan hasrat pribadi,
ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat yang diembannya.
Bukan hanya rakyat yang kecewa, sebagian anggota dewan
yang murni dan benar-benar melaksanakan tugas, serta tulus dan ikhlas mengemban
amanah rakyat, juga menjadi risih dengan ulah teman-temannya itu. Sebab,
predikat anggota dewan terhormat yang mereka sandang, diciderai sendiri oleh
rekan-rekan sesama anggota dewan.
Namun, inilah wajah asli sebagian besar anggota dewan
di Aceh. Tanpa merasa bersalah, tanpa malu, pura-pura bodoh, dan tidak peke
terhadap nasib sesama. Wajah yang kerap disembunyikan dalam berbagai simbol
masa lalu hingga simbol agama. Tidak ada yang bisa memperbaikinya, karena kita
semua (terkadang) ikut-ikutan seperti mereka.
Maka teruslah terjadi, yang sejahtera bertambah makmur,
yang terpuruk semakin melarat. Budaya malu terus luntur, tipu-menipu dan
kemunafikan merajalela di mana-mana. Sementara keadilan, tenggang rasa dan
moralitas, semakin menjadi barang langka di bumi berlabel syariat ini.[]