Tahun ajaran baru telah sebulan lebih dimulai. Para
orang tua, setiap memasuki ritual tahunan ini, selalu dipusingkan dengan
mahalnya biaya pendidikan bagi putra-putri mereka. Upaya pemerintah untuk
menggratiskan biaya pendidikan—sebagaimana amanat UUD 1945—masih sebatas bebas
Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) untuk tingkat SD hingga SLTA sekolah
negeri, namun tetap dikenakan biaya ini-itu lainnya.
Memang istilah uang gedung nyaris tak terdengar lagi di
Aceh, tapi sumbangan sukarela masih saja dikeluhkan para wali murid. Tidak saja
saat penerimaan murid baru, saat kenaikan kelas pun, banyak sekolah kembali
membebankan biaya yang istilahnya untuk daftar ulang bagi peserta didik.
Belum lagi biaya untuk keperluan seragam dan membeli
buku-buku yang semakin mahal. Bagi kelompok masyarakat menengah ke atas, tentu
hal itu tak akan jadi masalah. Tapi bagaimana dengan masyarakat menengah ke
bawah? Ini menjadi persoalan besar yang perlu ditanggulangi para stakeholder
pendidikan di Aceh.
Jangan anggap angin lalu atas berbagai keluhan tentang
pungutan biaya mahal di sekolah-sekolah. Kasihan melihat para orang tua murid
dari kalangan tidak mampu. Jangan sampai pula, anak-anak Aceh harus putus
sekolah karena ketiadaan biaya.
Pihak Dinas Pendidikan Aceh harus bertindak tegas
terhadap pihak-pihak yang menggunakan sekolah untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya dari para orang tua murid. Bukan malah membiarkan mereka
memanfaatkan momentum tahun ajaran baru untuk ‘memeras’ peserta didik.
Aceh yang punya banyak uang dari dana otonomi khusus
serta bagi hasil minyak dan gas (Migas), seharusnya telah lama bisa mengatasi
persoalan ini. Tapi, nyatanya, hingga kini keluhan serupa dari wali murid masih
terdengar setiap tahun ajaran baru. Sehingga, jika dikalkulasikan, pendidikan
di Aceh masih dibanderol dengan harga tinggi, walau SPP sekolah negeri dari
SD-SLTA sudah digratiskan.
Untuk persoalan ini, mari bercermin pada Jepang. Negeri
Sakura yang luluh lantak setelah Hiroshima dan Nagasaki dihantam atomic bomb, bisa
bangkit dan menjadi poros kekuatan baru untuk teknologi di Asia. Mereka bangkit
dan menjadi cerdas. Rahasianya? Ternyata Jepang menjadikan pendidikan nomor
satu. Setelah takluk dan porak-poranda, pemerintah Jepang di Tokyo tak sibuk
menghitung berapa sisa kekuatan militer, tapi cepat-cepat menghitung jumlah
guru yang masih hidup.
Kita memang tak porak-poranda karena bom atom, tapi
penjajahan Belanda 3,5 abad dan pendudukan Jepang 3,5 tahun tentu menjadi
pelajaran dan pengalaman; bahwa bangsa bodoh akan selalu mudah ditindas.
Lebih-lebih bagi Aceh yang pernah dilanda konflik berkepanjangan dan hantaman
tsunami yang merengut banyak tenaga intelektual, seharusnya sektor ini menjadi
persoalan serius yang harus ditanggulangi. Tapi kenapa biaya pendidikan di bumi
Aceh hingga sekarang masih mahal? Ini yang kita sesalkan.
Di zaman sudah maju ini, sudah saatnya sekolah di Aceh
menggratiskan biaya belajar secara menyeluruh. Dalam penerapannya juga harus
benar-benar dijalankan secara adil. Sekolah-sekolah gratis atau beasiswa bagi
anak Aceh jangan hanya dinikmati anak-anak orang kaya, sebagaimana yang kerap
dipertontonkan selama ini. Tapi, sekolah gratis berkeadilan harus terwujud di
bumi Aceh, demi masa depan anak-anak Aceh yang lebih baik. Hanya ini yang bisa
menyelamatkan Aceh dari keterpurukan.[]