Di usia kemerdekaan Republik Indonesia ke 71, masih
banyak anak negeri yang hidup di bawah garis kemiskinan. Anehnya, kantong-kantong
kemiskinan justeru berada di wilayah dengan sumber kekayaaan alam melimpah
serta mendapatkan kuncuran dana bagi hasil Migas dan Otsus dalam jumlah besar,
seperti Aceh dan Papua Barat.
Untuk Aceh, berdasarkan rilis terakhir Badan Pusat
Statistik (BPS), persentase kemiskinan daerah ini menempati posisi dua di Pulau
Sumatera. Tingkat kemiskinan di Aceh mencapai 16,73 persen, hanya selisih
beberapa poin di bawah Provinsi Bengkulu (17,32 persen) yang menempati
peringkat pertama penduduk miskin terbanyak di Sumatera.
Dengan kondisi ini, pantas kita pertanyakan kemana
hasil kekayaan alam Aceh yang kita bangga-banggakan selama ini? Bagaimana
pengelolaannya sehingga rakyat Aceh tetap miskin meski kekayaan itu telah
terkuras habis dari perut bumi Aceh?
Sulit sekali menemukan jawaban atas pertanyaan itu,
selain kita dipaksa mengurut dada dan geleng-geleng kepala. Namun, satu hal
yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Aceh memang kaya. Hanya orang-orang yang kita
percaya mengurus kekayaan alam Aceh yang tidak tepat.
Boleh jadi, selama ini kita salah dalam memilih
pemimpin dan wakil rakyat yang duduk di parlemen. Akibatnya, Aceh makin
terpuruk dan tidak mampu melepaskan diri dari belengku kemiskinan.
Pasca damai, Aceh sudah dua kali memilih pemimpin
secara langsung dan kini sedang dalam proses pergantian kekuasaan untuk ketigakalinya.
Kita juga sudah berkali-kali memilih wakil rakyat secara langsung, termasuk dua
kali keikutsertaan partai lokal dalam Pemilu di Aceh. Namun, tetap saja tidak
membawa perubahan berarti bagi kesejateraan rakyat Aceh.
Baik pasangan kepala daerah maupun anggota dewan yang
kita pilih, mereka seolah membutuhkan rakyat hanya di saat Pilkada atau Pemilu.
Setelah mencapai kursi kekuasaan, mereka dengan mudah melupakan rakyat. Mereka
justeru berlomba memperkaya diri dan kroni-kroninya, tanpa berupaya menekan
angka kemiskinan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Lihat saja, begitu mudahnya para pejabat Aceh dan orang-orang
yang dekat dengan kekuasaan mendapatkan uang banyak dengan jalan singkat. Perilaku
koruptif yang mereka pertontonkan pun semakin massif, bahkan secara terang-terangan
di segala lini dan strata kekuasaan.
Gaji pokok yang disediakan negara sudah tidak cukup
lagi untuk menghidupi kehidupan normal mereka yang jauh dari ambang batas
kelayakan. Sementara rakyat kecil semakin tidak berdaya dengan
ketidakberdayaannya.
Tidak bisa dipungkiri, kemiskinan rakyat Aceh hari ini adalah
akibat kesalahan kita dalam memilih pemimpin. Karena itu, dengan semangat
peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 71, kita memantapkan hati menghadapi Pilkada
2017.
Kita tidak boleh salah pilih lagi, demi masa depan Aceh
yang lebih baik. Harapan kita, pesta demokrasi nanti berhasil menghadirkan
kepala daerah yang mampu memerdekakan Aceh dari belenggu kemiskinan.[]