Safari Ramadhan atau buka puasa bersama dan terawih dari
masjid ke masjid merupakan silaturahmi yang sangat dianjurkan dalam Islam. Begitu
juga bagi-bagi makanan berbuka, menyantuni anak yatim, sahur bersama, dan
dialog Ramadhan, menjadi ajang memperkuat silaturahmi dan memperbanyak amalan
di bulan ‘seribu bulan’ ini.
Tetapi, menjelang pesta demokrasi seperti sekarang ini,
momentum tersebut rawan dimanfaatkan untuk kampanye terselubung para kandidat
yang sudah ambil ancang-ancang berlaga di Pilkada 2017. Akibatnya, ketenangan dan
kekusyukan beribadah pun terusik oleh aktivitas politik. Apalagi dalam
ceramah-ceramah Ramadhan diselipkan imbauan untuk memilih calon tertentu pada
Pilkada nanti.
Paling rentan, pemanfaatan safari Ramadhan sebagai
ajang menjual citra dilakukan oleh kandidat patahana (incumbent), baik di level
propinsi maupun kabupaten/kota. Sebagai kepala daerah—gubernur/wakil gubernur,
bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota—yang akan maju lagi pada
Pilkada mendatang, tentu dengan mudah bisa memobilisasi massa pada kegiatan Ramadhan.
Dengan mudah pula mereka menjadikan momentum Ramadhan sebagai ajang pencitraan.
Kampanye politik terselubung juga berpeluang dilakukan
para kandidat yang kini berada di luar sistem pemerintahan. Siapa yang bisa
menjamin kalau kegiatan mereka dalam safari Ramadhan murni sebagai upaya
memperbanyak amal ibadah kepada-Nya? Sudah pasti, tak ada yang mampu
menjaminnya. Apalagi sebagian kita, tanpa sadar terkadang ikut hanyut dengan
strategi pencitraan yang dilancarkan orang-orang serakah terhadap dunia dan
jabatan.
Belakangan ini saja, wajah para kandidat pada
spanduk-spanduk yang terpasang di pusat-pusat keramaian sudah dipoles sereligius
mungkin. Slogan-slogan politik pun dikemas dalam bentuk imbauan, seolah-olah
sang dai yang tengah mengajak umat agar lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt
memasuki bulan penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini.
Karena itu, patut diwaspadai dan harus berani menolak
kandidat yang mempolitisasi kegiatan Ramadhan. Jangan sampai ibadah kita
teracuni oleh kegiatan politik yang terkadang sarat kebohongan dan kemunafikan.
Ingat, selain untuk memperbanyak amal saleh, momentum
Ramadhan juga memberi makna kepada umat untuk meningkatkan solidaritas, baik
solidaritas keagamaan maupun solidaritas kemanusiaan. Sebab itu, jangan sampai
mementum tersebut dikotak-kotakkan dan dicerai-beraikan oleh kepentingan
politik kelompok tertentu.
Semoga, dalam menjalankan ibadah puasa kali ini, kita
di Aceh dapat memperkokoh kerukunan sesama umat, guna penguatan perdamaian yang
telah terwujud. Kita juga harus bergandengan tangan dalam mengatasi berbagai
masalah yang melanda Aceh. Melalui momentum Ramadhan kali ini, mudah-mudahan kita
menemukan jalan keluar dari berbagai krisis, mulai krisis listrik hingga krisis
moral dan aqidah yang mendera masyarakat kita selama ini.
Akhirnya, mari menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas,
khusyuk, dan penuh kesabaran. Apapun yang kita kerjakan di bulan suci ini,
hanya untuk mengharapkan ampunan dan ridha Allah Swt semata. Marhaban, ya
Ramadhan.[]