Lelaki tapa Matahari (11)

Kurasa malam belum begitu larut. Setidaknya, jarum jam belum menajukkan pukul 00.01 dini hari ketika aku terjaga dari tidur yang diselimuti kegelisahan. Dari balik jendela aku menyaksikan kunang-kunang meliuk di atas setangkai kembang. Malam melempar pesan lewat jemarinya yang dingin. Dan, tiba-tiba aku ingat pesan singkat dari Amelia yang mampir ke handphoneku tadi sore. Kuraih HP dan segera meneleponnya.

“Halo… Siapa ni?” terdengar suara lembut perempuan di ujung sana. Tapi, aku hafal betul, itu bukan suara matahariku.
Aku terdiam. Tak menjawab. Tapi, “Halo, kamu Ari kan?!” nada suara perempuan itu mulai kasar, bahkan setengah membentak.
Mendadak aku tersentak ketika tersadar bahwa yang menerima telepon itu adalah Wati. Namun, aku mencoba bersikap tenang. Lalu, “apa kabar Wat? Maafkan aku, sebenarnya…”
“Tidak ada kabar tentangku lagi. Dan, tidak ada maaf bagimu. Aku hanya minta, tolong jangan pernah ganggu adikku lagi. Itu saja!” sambarnya cepat.
“Wat, percayalah, aku bukan lagi Ari yang kau kenal empat tahun lalu. Aku benar-benar mencintai adikmu. Sungguh, aku ingin membahagiakannya. Sebab, aku tahu, Amel juga bahagia bersamaku.”
“Tidak. Pokoknya kami takkan membiarkan Amelia meneruskan hubungannya dengan kamu. Sekali lagi, tolong jangan ganggu adikku lagi!” tegas Wati, lalu mematikan telepon genggam itu, untuk jangka waktu yang tak terhingga. Sebab, berkali-kali aku telepon lagi, sudah tidak aktif atau berada di luar jangkauan.
Aku membuka jendela kamar. Menatap gerimis yang mulai menderas. Sebuah petir dan kilat membelah langit. Seolah begitu dekat denganku. Kalau petir itu menyambar lebih rendah, pastilah tubuhku hangus terbakar. Tapi, entah mengapa aku tidak khawatir. Seolah aku senang bila tersambar petir. Bahkan, rasa ingin mati terus menggema di hatiku.
Aku kembali merebahkan tubuh di ranjang. Sesaat kemudian sepi. Tiba-tiba aku menemukan diriku berada di sebuah pulau yang dikelilingi laut. Ya, aku memang lelaki petualang yang ingin singgah dan membangun sarang abadi di rimba terakhir yang kutemui.
Dan, sekarang aku hanya memerlukan sebuah perahu untuk menyeberangi tujuh samudera sebagaimana Christopher Columbus, Vasco Da Gama, atau Marcopollo, hingga menemukan persinggahan terakhir dalam petualangannya.
Namun, aku kecewa. Perahu kecil yang kubangun dari tangkai kasih dan penuh ketulusan, kembali retak. Dihantam gelombang musim lalu, yang tak sempat pecah di pantai semenanjung Malaka.
Tiba-tiba sorot mataku tertumpu pada sebongkah batu karang, tidak seberapa jauh dari tempatku berdiri. Meski kiri-kanan dihantam gelombang, dia tetap tegar. Bahkan, ia seperti menertawakan keganasan kehidupan. Hati kecilku berbisik, sebagai lelaki petualang, aku juga harus seteguh batu karang itu.
Sesaat kemudian, aku menemukan diriku berada di ruang dimensi lain. Seakan-akan aku tengah berjuang, menepis kabut kelam yang menghalangi pancaran matahari ke duniaku. Aku terkatung-katung di awan. Tiba-tiba tubuh Amelia menyeruak dari gumpalan kabut pekat. Dan, aku terengah-engah saat berusaha meraih tangan bidadariku yang terjuntai ke arahku.
Perempuan itu memanggilku ke dalam tatapan matanya yang memuncratkan cahaya kehidupanku. Menarikku untuk menyelami dunianya. Atau juga keinginannya untuk bersemayam di duniaku.
Tapi, aku tak mengerti. Sorot matanya seketika menjadi kosong. Bahkan, kemudian tubuh Amelia kembali terbungkus pusaran awan gelap. Beruntung, aku bisa meraih genggamannya. Lalu kami saling berpelukan, berusaha melepaskan diri dari gumpalan awan yang berputar cepat.
Setelah beberapa hentakan secara bersamaan, aku dan Amelia berhasil melepaskan diri. Ke luar dari pusaran awan. Bahkan, karena hentakan yang sangat kuat, tubuh kami terlempar jauh. Melayang di awang-awang. Hingga kemudian tersungkur ke bumi.
Eh, bukan ke bumi. Tapi tubuhku tersungkur di lantai, terjatuh dari tempat tidur sambil memeluk guling. Ya, aku tersadar dari mimpi yang melelahkan. Bermandikan peluh dan nafas terengah.
Sementara jendela kamar masih terbuka. Di luar, hujan makin menderas. Namun, peluh di tubuhku juga masih sederas hujan. Helaan nafasku turun-naik, hingga puluhan ikhtifar tersampaikan.
Ketika seluruh kesadaranku terjemput lagi, aku meraih HP dan mencoba lagi menekan nomor contact person Amelia. Kali ini, masuk. Nada sambung “Andai Ku Tahu”-nya Ungu diperdengarkan. Jantungku berdebar kencang, menanti telepon diangkat. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 12