Kurasa malam belum begitu larut. Setidaknya, jarum jam belum
menajukkan pukul 00.01 dini hari ketika aku terjaga dari tidur yang
diselimuti kegelisahan. Dari balik jendela aku menyaksikan
kunang-kunang meliuk di atas setangkai kembang. Malam melempar pesan
lewat jemarinya yang dingin. Dan, tiba-tiba aku ingat pesan singkat dari
Amelia yang mampir ke handphoneku tadi sore. Kuraih HP dan segera
meneleponnya.
“Halo… Siapa ni?” terdengar suara lembut perempuan di ujung sana. Tapi, aku hafal betul, itu bukan suara matahariku.
Aku terdiam. Tak menjawab. Tapi, “Halo, kamu Ari kan?!” nada suara perempuan itu mulai kasar, bahkan setengah membentak.
Mendadak aku tersentak ketika tersadar bahwa yang menerima telepon
itu adalah Wati. Namun, aku mencoba bersikap tenang. Lalu, “apa kabar
Wat? Maafkan aku, sebenarnya…”
“Tidak ada kabar tentangku lagi. Dan, tidak ada maaf bagimu. Aku hanya
minta, tolong jangan pernah ganggu adikku lagi. Itu saja!” sambarnya
cepat.
“Wat, percayalah, aku bukan lagi Ari yang kau kenal empat tahun lalu.
Aku benar-benar mencintai adikmu. Sungguh, aku ingin membahagiakannya.
Sebab, aku tahu, Amel juga bahagia bersamaku.”
“Tidak. Pokoknya kami takkan membiarkan Amelia meneruskan hubungannya
dengan kamu. Sekali lagi, tolong jangan ganggu adikku lagi!” tegas
Wati, lalu mematikan telepon genggam itu, untuk jangka waktu yang tak
terhingga. Sebab, berkali-kali aku telepon lagi, sudah tidak aktif atau
berada di luar jangkauan.
Aku membuka jendela kamar. Menatap gerimis yang mulai menderas.
Sebuah petir dan kilat membelah langit. Seolah begitu dekat denganku.
Kalau petir itu menyambar lebih rendah, pastilah tubuhku hangus
terbakar. Tapi, entah mengapa aku tidak khawatir. Seolah aku senang bila
tersambar petir. Bahkan, rasa ingin mati terus menggema di hatiku.
Aku kembali merebahkan tubuh di ranjang. Sesaat kemudian sepi.
Tiba-tiba aku menemukan diriku berada di sebuah pulau yang dikelilingi
laut. Ya, aku memang lelaki petualang yang ingin singgah dan membangun
sarang abadi di rimba terakhir yang kutemui.
Dan, sekarang aku hanya memerlukan sebuah perahu untuk menyeberangi
tujuh samudera sebagaimana Christopher Columbus, Vasco Da Gama, atau
Marcopollo, hingga menemukan persinggahan terakhir dalam petualangannya.
Namun, aku kecewa. Perahu kecil yang kubangun dari tangkai kasih dan
penuh ketulusan, kembali retak. Dihantam gelombang musim lalu, yang tak
sempat pecah di pantai semenanjung Malaka.
Tiba-tiba sorot mataku tertumpu pada sebongkah batu karang, tidak
seberapa jauh dari tempatku berdiri. Meski kiri-kanan dihantam
gelombang, dia tetap tegar. Bahkan, ia seperti menertawakan keganasan
kehidupan. Hati kecilku berbisik, sebagai lelaki petualang, aku juga
harus seteguh batu karang itu.
Sesaat kemudian, aku menemukan diriku berada di ruang dimensi lain.
Seakan-akan aku tengah berjuang, menepis kabut kelam yang menghalangi
pancaran matahari ke duniaku. Aku terkatung-katung di awan. Tiba-tiba
tubuh Amelia menyeruak dari gumpalan kabut pekat. Dan, aku
terengah-engah saat berusaha meraih tangan bidadariku yang terjuntai ke
arahku.
Perempuan itu memanggilku ke dalam tatapan matanya yang memuncratkan
cahaya kehidupanku. Menarikku untuk menyelami dunianya. Atau juga
keinginannya untuk bersemayam di duniaku.
Tapi, aku tak mengerti. Sorot matanya seketika menjadi kosong.
Bahkan, kemudian tubuh Amelia kembali terbungkus pusaran awan gelap.
Beruntung, aku bisa meraih genggamannya. Lalu kami saling berpelukan,
berusaha melepaskan diri dari gumpalan awan yang berputar cepat.
Setelah beberapa hentakan secara bersamaan, aku dan Amelia berhasil
melepaskan diri. Ke luar dari pusaran awan. Bahkan, karena hentakan yang
sangat kuat, tubuh kami terlempar jauh. Melayang di awang-awang. Hingga
kemudian tersungkur ke bumi.
Eh, bukan ke bumi. Tapi tubuhku tersungkur di lantai, terjatuh dari
tempat tidur sambil memeluk guling. Ya, aku tersadar dari mimpi yang
melelahkan. Bermandikan peluh dan nafas terengah.
Sementara jendela kamar masih terbuka. Di luar, hujan makin menderas.
Namun, peluh di tubuhku juga masih sederas hujan. Helaan nafasku
turun-naik, hingga puluhan ikhtifar tersampaikan.
Ketika seluruh kesadaranku terjemput lagi, aku meraih HP dan mencoba
lagi menekan nomor contact person Amelia. Kali ini, masuk. Nada sambung
“Andai Ku Tahu”-nya Ungu diperdengarkan. Jantungku berdebar kencang,
menanti telepon diangkat. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 12