Lelaki tanpa Matahari (10)

Kubiarkan Wati tidur di kamar. Sedangkan aku memilih tidur di sofa. Namun, sepanjang malam aku terus gelisah. Pikiranku mengembara, ingin menembus dinding kamar, tempat Wati tertidur pulas. Bayangan gadis itu terus mengusik alam sadarku. Akh, kucoba mengusir pikiran itu jauh-jauh. Kubenamkan wajahku ke sofa. Aku berharap, cepat tertidur dan terbuai mimpi indah.

Berkali-kali aku menggeser tempat tidurku, gelisah, dan lelah dengan pikiranku sendiri. Sementara bulan berdarah mulai meleleh di langit di atas tanah kelahiran aktris laga Asia, Michelle Yeoh, itu. Mataku masih saja tidak bisa terpejam. Semuanya berkelebat cepat. Gemuruh masih ada di dadaku. Dan, kemudian sepi. Aku sudah tak ingat apa-apa lagi.
Jilatan matahari menerobos lewat tirai. Aku tersentak dan bangkit dari ringkukan. Duduk menatap jendela. Kutemukan bias matahari seperti bayang seseorang yang datang dari dunia gelap dengan tubuh terangnya. Gerai tirai yang tertiup angin meliuk, menjadikan terobos matahari serupa bayangan perempuan yang menari. Ya, aku ingin merengkuh bayang tubuh itu. Bayangan tubuh Wati.
“Bangun-bangun kok melamun. Bukannya ke kamar mandi sana,” suara Wati menyentakkan halusinasiku, “Cepat mandi. Sarapannya udah Wati siapin, ntar kopinya keburu dingin lho.”
Senyumku mengambang. Kutemukan wajah Wati yang tanpa kaku. Bukan seperti semalam. Kini, dia begitu lepas. Wajahnya terbungkus kesegaran. Dan kini ia duduk di sofa, di sampingku. Menatap aku dengan mata kucingnya. Lantas kakinya disilangkan dan matanya mengerdip nakal. Aku hanya melirik, kemudian bangkit dan nyemplung ke kamar mandi.
“Bagaimana, udah ada jawabannya?” tanyaku di sela-sela menikmati sarapan bikinannya.
“Jawaban apa?”
“Tentang kita.”
“Perlu sekarang?” larik matanya menatapku tak berkedip.
Aku mengangguk.
“Tuk saat ini Wati belum bisa menjawabnya. Tapi, jujur aja, Wati merasa terlindungi saat ini. Ya, saat berada di samping abang.”
“Jadi?”
“Ya, kita jalani aja dulu kebersamaan ini. Kalau memang sama-sama merasa cocok, hal itu kan tidak mesti diungkapkan.”
Aku hanya diam. Sebenarnya aku memang tidak membutuhkan jawaban dari Wati. Aku hanya menginginkannya bersedia menemani hari-hariku selama berada di negeri jiran. Itu saja, titik.
Dan, keinginanku itu memang terpenuhi. Wati selalu temani aku menjemput pagi. Rautnya dengan wajah yang kusut adalah sensasi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Setiap pagi aku menemukan perempuan itu tergeletak tanpa rasa jengah. Begitu pasrah.
Hingga adik perempuanku selesai pelatihan di Penang dan sudah kembali ke Ipoh, kebersamaan aku dan Wati tetap tak terkoyak. Hanya saja, aku harus menjaga agar kebersamaanku yang “berlebihan” bersama Wati tidak diketahui adik perempuanku.
Setiap hari libur, tanpa diketahui adikku, aku selalu mengajak Wati ke berbagai objek wisata di sana. Dari Lost World of Tambun hingga kuil San Poh Tong yang terletak di dalam gua batu kapur, pernah kukunjungi bersama Wati. Bahkan, saat pulang dari Daratan UMNO Bagan Datok, sekitar 140 kilometer dari kota Ipoh, karena kemalaman aku dan Wati terpaksa menginap di Hotel Casuaria, Ipoh. Sebenarnya bukan terpaksa, tapi memang aku merencanakan seperti itu.
Keesokan harinya, dari Casuaria, Wati langsung ke pabrik tempat ia bekerja. Sementara aku kembali ke apartemen. Namun, begitu tiba, aku disambut umpatan adikku. “Bang, berhentilah mempermainkan anak orang. Ampe kapan abang hidup seperti binatang. Tolong bang, tinggalkan Ipoh kalau abang cuma menjadikan Wati sebagai tumbal kekecewaan masa lalu abang.”
Aku diam. Sorot mata Nana menatapku dengan garang. Seakan dia ingin menelanku bulat-bulat. “Lebih baik abang balik aja ke Jakarta, sebelum kelancangan abang semakin membuahkan luka panjang bagi Wati kelak,” pinta Nana kemudian, selepas puluhan kata makiannya menghujamku.
“Oke. Sekarang aku mau balik ke Jakarta, kok.”
Lalu aku ke kamar dan memindahkan pakaianku dari lemari ke traveling bag. Saat akan meninggalkan apartemen itu, aku sempat menitipkan pesan pada Nana, “sampaikan salam terakhirku pada Wati, katakan bahwa aku tidak akan pernah menjumpainya lagi.”
Tuuut…tuuut…tuuut, dering nada SMS pada telepon genggam menyentakkan aku dari lamunan panjang. Kutemukan diriku yang terbaring lemas di kamar mess. Kuraih ponselku. Dan, perlahan kubuka SMS dari Amelia; Yank, ad’ g’ bsa gi k t4 ab, al-‘a klurga ad’ ngekor trus ne, ntar mlm tlp ad’ ya…(160 karakter). Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 11