Lelaki tanpa Matahari (9)

Aku berjalan gontai kembali ke kamarku, setelah mengantar Amelia hingga ke depan mess, tempat sepeda motornya di parkir. Aku merasa seperti ada sebuah bahaya laten yang akan mengancam kehidupanku. Naluriku mengatakan, keluarga Amelia tidak mungkin menerimaku lagi. Lebih-lebih Wati, wanita yang pernah terperangkap ranjau cinta yang kutebarkan empat tahun lalu. Yang kemudian kuhempas setelah sebulan penuh menemani hari-hariku selama di negeri jiran.

Aku kembali merenung sejenak dan berusaha mengingat-ingat setiap kejadian yang pernah kulalui bersama Wati dulu. Ya aku ingat, waktu itu Ipoh, ibukota negara bagian Perak, baru saja diselimuti kabut malam. Lepas magrib aku tiba di depan pintu bilik apartemen adik perempuanku, setelah dua jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur.
“Ini bang Ari ya?” seorang wanita sebaya Nana, adik perempuanku, muncul setelah daun pintu bilik terkoyak. Aku mengangguk, “Nana ada?”
“Dek Na lagi ikut pelatihan selama seminggu di Penang. Baru tadi pagi berangkat. Tapi dia ada bilang kok ke Wati tentang kedatangan abang ke sini,” tutur Wati setelah mempersilakan aku masuk, “oh ya, kapan datang dari Jakarta?”
Aku menghempaskan pantatku di sofa, ”tadi pagi. Tapi ke KL dulu.” Wati juga duduk di sofa, berhadapan denganku. Kurasa hati gadis itu sempat bergetar ketika sorot mata kami saling beradu. Dan, aku menangkap gejala itu, yang kemudian membangkitkan keinginanku untuk menjeratnya.
Kuakui, Wati memang perempuan yang menarik bagi setiap lelaki. Menarik sekali. Badannya sintal dan berisi. Dan, menurutku, sedikit banyak bisa memuaskan fantasi liarku. Wajahnya tidak terlalu mengecewakan, hanya sedikit polesan bedak dan lipstik tipis, menjadikannya memiliki pesona lebih.
“Abang mungkin kelelahan. Istirahat aja di kamar, biar Wati tidur di sofa aja,” ujarnya setelah lama memperhatikanku dalam diam.
Aku tersentak dari fantasi pikiranku sendiri, “abang bukan lelah, cuma lesu aja karena belum mandi dari tadi pagi.”
“Ya udah, abang mandi aja dulu biar nggak kusut lagi. Ni handuknya,” ujar Wati sambil menyodorkan handuk yang dari tadi memang dililitkan di bahunya.
Kuraih handuk di tangan Wati dan langsung ke kamar mandi. Ada kesegaran mengalir ketika seluruh tubuhku tersiram air. Namun, kesegaran itu malah tambah mengusik pikiranku tentang daya tarik yang dimiliki Wati.
”Tidak keluar malam minggu begini, Wat?” tanyaku setelah ke luar dari kamar mandi dan berdiri di mulut kamar.
“Belum ada rencana ke mana-mana ni. Lagian nggak ada yang perlu dibeliin kok.”
“Gimana kalau kita makan malam di luar,” kejarku.
Kulihat Wati merenung sejenak. Lalu, “Boleh deh, tapi jangan terlalu malam kita pulang.”
Sesaat kemudian kami sudah berada di jok taksi, menerobos pendar-pendar lampu jalanan. “Wat, kapan terakhir pulang ke Aceh?” gumamku persis di ujung telinganya.
“Dua bulan lalu. Saat Dek Na ke Jakarta, saya malah pulkam karena kangen ama keluarga. Kata Dek Na abang nggak pernah pulkam, ya?”
“Hhmmm…” desahku seraya mengangguk, “Abang malas ke kampung. Soalnya pergi dulu sendiri, masak pulang juga sendiri.”
“Makanya cepatan marrid.”
“Nggak ada yang mau. Lagian sulit sekali menemukan anak Aceh baik-baik di Jawa. Makanya abang ke sini, siapa tau dapat jodoh anak Aceh yang di sini. Cariin, ya?” pancingku, mencoba menjebak.
Wati mengangguk. Namun tidak sempat melontarkan sepatah kata sekalipun, karena taksi keburu berhenti persis di depan restoran tujuan kami. Sebuah restoran Indonesia di pertigaan jalan masuk kawasan Bandaraya Ipoh.
Perempuan yang sebelumnya hanya kudengar namanya saja, tapi tidak kenal orangnya, kini bergayut di lenganku. Hasratku untuk menjeratnya semakin menggelora. Ya, perempuan ini harus kudapat. Paling tidak, sekedar mengisi penggalan kecil kehidupanku selama sebulan di Negeri Perak Darul Ridzuan ini.
Kami memilih tempat duduk agak pojok dan menjorok ke taman. Sebuah meja kecil dan sepasang kursi yang hanya disinari keremangan sepotong lilin siap menjadi saksi. Kesaksian atas kegombalanku pada gadis polos asal kampungku sendiri. “Wat, kamu merasa risih nggak jalan ama abang kayak gini?”
“Kenapa mesti risih, bang Ari kan abangnya sohib Wati. Lagian kita masih satu kampung, berarti Wati kan adiknya bang Ari juga.”
“Kalau abang menganggap Wati lebih dari sekedar adik, mungkin nggak, ya?” kucoba memasukkan “jarum suntik” untuk melambungkan perasaannya. Kurasakan ada kegelisahan yang mendadak memayungi wajah Wati.
Matanya kemudian menatapku tak berkedip, “Maksud abang…?”
“Sebenarnya abang udah lama cari tau tentang Wati. Dan, setelah ketemu orangnya sekarang, abang benar-benar ingin merentas asa yang pernah terabaikan di kehidupan abang dulu. Ya, kini abang benar-benar ingin menggantungkan harap pada Wati.”
Perempuan itu hanya diam. Namun aku bisa menangkap kegelisahan dari sorot matanya yang berpendar menatapku. “Wati nggak ngerti maksud abang. Sebenarnya apa yang abang harapkan dari seorang perempuan sederhana seperti saya ini?” desahnya kemudian.
“Abang mencintai Wati. Sungguh, abang tidak bisa membohongi perasaan ini,” tembakku yang membuatnya tersentak. Mungkin juga darah Wati sempat berhenti mengalir ketika kalimat itu meluncur tanpa beban dari bibirku. “Tapi Wati tidak perlu menjawabnya sekarang. Pertimbangkan aja dulu, kalau memang mau bilang mau, kalau tidak ya bilang tidak. Abang tidak ingin keputusan yang Wati ambil hanya karena keterpaksaan.”
Perempuan itu diam. Bibirnya seperti mau digerakkan, tapi kembali tertutup. Bahkan, ketika sorot mata kami beradu, Wati nampak jelas tersipu dan cepat-cepat menunduk. Hingga pesanan kami datang, keheningan belum juga terpecahkan.
Malam terus merangkak. Bulan berdarah masih menggantung di langit di atas kepala kami. Aku menggandeng tangan Wati, menyotop taksi dan kembali ke apartemen. Ke petakan rumah susun satu kamar, yang kini hanya kami tempati berdua.  Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 10