Aku berjalan gontai kembali ke kamarku, setelah mengantar Amelia
hingga ke depan mess, tempat sepeda motornya di parkir. Aku merasa
seperti ada sebuah bahaya laten yang akan mengancam kehidupanku.
Naluriku mengatakan, keluarga Amelia tidak mungkin menerimaku lagi.
Lebih-lebih Wati, wanita yang pernah terperangkap ranjau cinta yang
kutebarkan empat tahun lalu. Yang kemudian kuhempas setelah sebulan
penuh menemani hari-hariku selama di negeri jiran.
Aku
kembali merenung sejenak dan berusaha mengingat-ingat setiap kejadian
yang pernah kulalui bersama Wati dulu. Ya aku ingat, waktu itu Ipoh,
ibukota negara bagian Perak, baru saja diselimuti kabut malam. Lepas
magrib aku tiba di depan pintu bilik apartemen adik perempuanku, setelah
dua jam perjalanan darat dari Kuala Lumpur.
“Ini
bang Ari ya?” seorang wanita sebaya Nana, adik perempuanku, muncul
setelah daun pintu bilik terkoyak. Aku mengangguk, “Nana ada?”
“Dek Na
lagi ikut pelatihan selama seminggu di Penang. Baru tadi pagi
berangkat. Tapi dia ada bilang kok ke Wati tentang kedatangan abang ke
sini,” tutur Wati setelah mempersilakan aku masuk, “oh ya, kapan datang
dari Jakarta?”
Aku
menghempaskan pantatku di sofa, ”tadi pagi. Tapi ke KL dulu.” Wati juga
duduk di sofa, berhadapan denganku. Kurasa hati gadis itu sempat
bergetar ketika sorot mata kami saling beradu. Dan, aku menangkap gejala
itu, yang kemudian membangkitkan keinginanku untuk menjeratnya.
Kuakui,
Wati memang perempuan yang menarik bagi setiap lelaki. Menarik sekali.
Badannya sintal dan berisi. Dan, menurutku, sedikit banyak bisa
memuaskan fantasi liarku. Wajahnya tidak terlalu mengecewakan, hanya
sedikit polesan bedak dan lipstik tipis, menjadikannya memiliki pesona
lebih.
“Abang
mungkin kelelahan. Istirahat aja di kamar, biar Wati tidur di sofa aja,”
ujarnya setelah lama memperhatikanku dalam diam.
Aku tersentak dari fantasi pikiranku sendiri, “abang bukan lelah, cuma lesu aja karena belum mandi dari tadi pagi.”
“Ya
udah, abang mandi aja dulu biar nggak kusut lagi. Ni handuknya,” ujar
Wati sambil menyodorkan handuk yang dari tadi memang dililitkan di
bahunya.
Kuraih
handuk di tangan Wati dan langsung ke kamar mandi. Ada kesegaran
mengalir ketika seluruh tubuhku tersiram air. Namun, kesegaran itu malah
tambah mengusik pikiranku tentang daya tarik yang dimiliki Wati.
”Tidak keluar malam minggu begini, Wat?” tanyaku setelah ke luar dari kamar mandi dan berdiri di mulut kamar.
“Belum ada rencana ke mana-mana ni. Lagian nggak ada yang perlu dibeliin kok.”
“Gimana kalau kita makan malam di luar,” kejarku.
Kulihat Wati merenung sejenak. Lalu, “Boleh deh, tapi jangan terlalu malam kita pulang.”
Sesaat
kemudian kami sudah berada di jok taksi, menerobos pendar-pendar lampu
jalanan. “Wat, kapan terakhir pulang ke Aceh?” gumamku persis di ujung
telinganya.
“Dua
bulan lalu. Saat Dek Na ke Jakarta, saya malah pulkam karena kangen ama
keluarga. Kata Dek Na abang nggak pernah pulkam, ya?”
“Hhmmm…” desahku seraya mengangguk, “Abang malas ke kampung. Soalnya pergi dulu sendiri, masak pulang juga sendiri.”
“Makanya cepatan marrid.”
“Nggak
ada yang mau. Lagian sulit sekali menemukan anak Aceh baik-baik di
Jawa. Makanya abang ke sini, siapa tau dapat jodoh anak Aceh yang di
sini. Cariin, ya?” pancingku, mencoba menjebak.
Wati
mengangguk. Namun tidak sempat melontarkan sepatah kata sekalipun,
karena taksi keburu berhenti persis di depan restoran tujuan kami.
Sebuah restoran Indonesia di pertigaan jalan masuk kawasan Bandaraya
Ipoh.
Perempuan yang sebelumnya hanya kudengar namanya saja, tapi tidak kenal
orangnya, kini bergayut di lenganku. Hasratku untuk menjeratnya semakin
menggelora. Ya, perempuan ini harus kudapat. Paling tidak, sekedar
mengisi penggalan kecil kehidupanku selama sebulan di Negeri Perak Darul
Ridzuan ini.
Kami
memilih tempat duduk agak pojok dan menjorok ke taman. Sebuah meja
kecil dan sepasang kursi yang hanya disinari keremangan sepotong lilin
siap menjadi saksi. Kesaksian atas kegombalanku pada gadis polos asal
kampungku sendiri. “Wat, kamu merasa risih nggak jalan ama abang kayak
gini?”
“Kenapa
mesti risih, bang Ari kan abangnya sohib Wati. Lagian kita masih satu
kampung, berarti Wati kan adiknya bang Ari juga.”
“Kalau
abang menganggap Wati lebih dari sekedar adik, mungkin nggak, ya?”
kucoba memasukkan “jarum suntik” untuk melambungkan perasaannya.
Kurasakan ada kegelisahan yang mendadak memayungi wajah Wati.
Matanya kemudian menatapku tak berkedip, “Maksud abang…?”
“Sebenarnya
abang udah lama cari tau tentang Wati. Dan, setelah ketemu orangnya
sekarang, abang benar-benar ingin merentas asa yang pernah terabaikan di
kehidupan abang dulu. Ya, kini abang benar-benar ingin menggantungkan
harap pada Wati.”
Perempuan
itu hanya diam. Namun aku bisa menangkap kegelisahan dari sorot matanya
yang berpendar menatapku. “Wati nggak ngerti maksud abang. Sebenarnya
apa yang abang harapkan dari seorang perempuan sederhana seperti saya
ini?” desahnya kemudian.
“Abang
mencintai Wati. Sungguh, abang tidak bisa membohongi perasaan ini,”
tembakku yang membuatnya tersentak. Mungkin juga darah Wati sempat
berhenti mengalir ketika kalimat itu meluncur tanpa beban dari bibirku.
“Tapi Wati tidak perlu menjawabnya sekarang. Pertimbangkan aja dulu,
kalau memang mau bilang mau, kalau tidak ya bilang tidak. Abang tidak
ingin keputusan yang Wati ambil hanya karena keterpaksaan.”
Perempuan
itu diam. Bibirnya seperti mau digerakkan, tapi kembali tertutup.
Bahkan, ketika sorot mata kami beradu, Wati nampak jelas tersipu dan
cepat-cepat menunduk. Hingga pesanan kami datang, keheningan belum juga
terpecahkan.
Malam
terus merangkak. Bulan berdarah masih menggantung di langit di atas
kepala kami. Aku menggandeng tangan Wati, menyotop taksi dan kembali ke
apartemen. Ke petakan rumah susun satu kamar, yang kini hanya kami
tempati berdua. Bersambung ke Lelaki tanpa Matahari 10