Lagi-lagi, pasal dalam UU No.11/2006 tentang Pemerintah
Aceh (UUPA) digugurkan penerapannya. Bukan mustahil, di masa mendatang, satu
persatu pasal-pasal kekhususan Aceh akan dicopot, hingga UUPA kehilangan
seluruh ‘taring’ lex spesialis yang dimilikinya. Boleh jadi pula, dalam
perjalanan Aceh ke depan, UUPA hanya dikenang sebagai cenderamata dari MoU
Helsinki yang tidak memiliki kewenangan khusus.
Menjelang Pilkada 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan
gugatan terhadap pasal 256 UUPA tentang calon independen yang hanya berlaku
satu kali setelah undang-undang tersebut disahkan. Putusan MK saat itu
membolehkan masyarakat Aceh mencalonkan diri dari jalur independen lebih dari
sekali tanpa ada batasan waktu, sebagaimana yang berlaku di daerah lain.
Kini, menjelang Pilkada 2017, MK kembali mengabulkan
gugatan terhadap pasal 67 ayat (2) huruf g UUPA tentang mantan narapidana tidak
boleh ikut Pilkada. Putusan itu membuka peluang bagi mantan terpidana seperti
Abdullah Puteh (penggugat pasal ini) menjadi kepala daerah di Aceh.
Pasal yang digugurkan MK kali ini berbunyi, “calon
gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu tidak pernah dijatuhi pidana penjara
karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima)
tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat
amnesti/rehabilitasi.”
Apapun alasannya, pengguguran pasal-pasal UUPA menjadi
catatan buruk bagi kekhususan Aceh dengan segala lex spesialis— asas
penafsiran yang menyatakan hukum bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)—yang dimilikinya. Bila
hal ini terus berlanjut, perjalanan Aceh ke depan akan sama dengan daerah lain
di Indonesia. Apapun produk hukum yang dilahirkan tidak lagi merujuk MoU
Helsinki.
Jangan-jangan, ini memang skenario Jakarta yang ingin
merebut kembali Aceh seperti apa adanya selama bertahun-tahun lalu, sebelum
damai tercipta. Pemerintah Pusat, melalui segenap perangkatnya, kembali
membuktikan kehebatan tipu muslihatnya. Orang-orang Jakarta yang tidak ikhlas
dengan kekhususan daerah ini, ingin kembali menguasai Aceh seperti di masa
lalu.
Putut dicurigai, persengkokolan ini juga melibatkan
orang-orang yang selama ini larut dengan gemerlapnya Jakarta. Orang orang yang
hanya pulang ke Aceh, untuk kepentingan Jakarta. Karena itu, rakyat Aceh layak
tidak yakin pada mereka yang menetap di Jakarta lalu merasa seolah-olah paling
peduli pada Aceh.
Tidak, mereka hanya ingin membuat Aceh kembali
sepenuhnya dalam cengkeraman Jakarta. MoU Helsinki hanya dianggap catatan basa-basi
yang segala klausul-nya tidak perlu direalisasikan. Sungguh disayangkan, jauh-jauh
upaya penyelesaian konflik, bila akhirnya kita kembali ke jalan semula; terpaksa
menentang kesewenang-wenangan Jakarta dengan cara-cara seperti di masa lalu.[]