Keluhan tentang buruknya pelayanan kesehatan masih
kerap terdengar di Aceh. Bahkan sering menjadi pergunjingan di media sosial, terutama
menyangkut ketitakpuasan keluarga pasien yang berobat di rumah sakit atau
Puskesmas tertentu. Keluhan tersebut antara lain kurang bersabatnya perawat,
sedikitnya kunjungan dokter pada pasien rawat inap, kesalahan diagnosa, dan lambannya
penanganan yang menyebabkan kematian pasien.
Soal lambannya penanganan pasien, dalam tahun ini saja
terjadi beberapa kasus di Aceh. Sebut saja kasus persalinan di Rumah Sakit Ibu
dan Anak (RSIA) Banda Aceh yang berujung pada pergantian direktur rumah sakit
plat merah itu. Lalu kasus kematian pasien karena lamban dioperasi di RSUD
Fauziah Bireuen, dan sederet kasus lain yang terkadang luput dari pemberitaan
media.
Karenanya, walau bisa berobat gratis di Aceh, banyak
warga Aceh yang memilih berobat keluar negeri dengan menguras kocek dalam
jumlah besar. Tidak saja pengusaha, pejabat dan mantan pejabat, tapi juga
rakyat biasa yang kehidupannya hanya pas-pasan pun banyak yang berobat ke
Malaysia.
Bagi kebanyakan kita, berobat ke luar negeri itu dipicu
soal keyakinan. Dengan berbagai kasus yang terjadi selama ini, masyarakat
meragukan pelayanan di rumah sakit atau pusat kesehatan yang ada di Aceh. Saat
ini, banyak warga Aceh lebih mempercayai dokter luar, ketimbang dokter kita di Aceh.
Alasan utama masyarakat kita berobat ke Penang,
misalnya, karena di sana amat menjanjikan totalitas dan pelayanan kesehatan.
Semua data penyakit dapat terungkap dalam satu kali jalan. Pelayanan memuaskan,
peralatan kedokteran dan laboratorium, sal rumah sakit, semua sangat meyakinkan
pasien.
Pelayanan semacam itulah yang perlu diwujudkan di Aceh.
Para pengambil kebijakan di Aceh harus bisa ‘menyehatkan’ rumah sakit dan
Puskesmas—berikut paramedis yang bertugas—agar mampu memberikan pelayanan
kepada pasien secara baik dan maksimal. Bila perlu, Pemerintah Aceh
mendatangkan dokter-dokter dari luar negeri untuk bekerja di rumah sakit plat
merah yang tersebar di seluruh Aceh.
Selain itu, sudah saatnya Aceh memiliki rumah sakit
swasta berstandar internasional dengan laboratorium yang mampu mendeteksi
penyakit pasien secara cepat dan tepat. Kalau semua aspek terpenuhi, maka biaya
kesehatan rakyat Aceh yang selama ini lari ke luar negeri, ke depan akan tetap
terbelanjakan di Aceh, bila mereka memang memilih berobat di rumah sakit swasta
berstandar internasional. Bahkan, kalau bisa, orang dari luar yang nantinya
berbondong-bondong berobat di Aceh.
Tak kalah pentingnya adalah dukungan pemerintah melalui
Dinas Kesehatan untuk mendorong pihak rumah sakit melaksanakan fungsi dan
tugasnya dengan baik dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
luas. Siapapun gubernur terpilih nantinya harus bersungguh-sungguh melanjutkan
reformasi sistem pelayanan kesehatan di Aceh agar sesuai dengan UUD 1945 Pasal
34 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa negara (pemerintah) bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak.
Barangkali inilah harapan masyarakat atas
carut-marutnya pelayanan kesehatan di Aceh selama ini. Tidak sekedar gratis
(ditanggung pemerintah), tetapi masyarakat butuh pelayanan baik dan manusiawi
saat berobat di rumah sakit manapun di bumi Aceh.[]