Menuntaskan Reintegrasi (18 Agustus 2015)

HARI INI, kita memasuki tahun ke-10 lahirnya memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Sejatinya, masa satu dekade itu bisa menuntaskan proses reintegrasi bagi mantan kombatan GAM untuk bersama-sama membangun Aceh ke arah yang lebih baik.


Namun apa lacur, proses reintegrasi yang menguras energi dan biaya besar ternyata masih menyisakan beragam persoalan yang berpotensi mengembalikan Aceh ke era konflik. Masih adanya kelompok-kelompok sipil bersenjata api, semacam Din Minimi Cs, memberi sinyal bahwa Aceh belum sepenuhnya keluar dari kerawanan gangguan keamanan.

Kita tentu sepakat, penyebab utama kegagalan reintegrasi di Aceh dilatarbelakangi ketimpangan sosial antar sesama eks kombatan GAM. Pertumbuhan ekonomi Aceh yang lemah juga telah memunculkan kelompok-kelompok kriminal baru yang memperkeruh kondisi keamanan di Aceh hari ini.

Selama ini, Pemerintah Aceh juga tidak memiliki perencanaan yang jelas menyangkut proses reintegrasi. Padahal, di masa-masa awal perjalan perdamaian Aceh, daerah ini memiliki banyak bantuan dana dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaga international. Selain dikelola Badan Reintegrasi Aceh (BRA), dana untuk keberlangsungan proses reintegrasi juga diplotkan melalui program-prgram Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.

Anehnya, dana yang melimpah itu justru melahirkan ketimpangan sosial di masyarakat Aceh. Di tingkat elite, lahir sederet orang kaya baru di Aceh yang kekayaannya bersumber dari bantuan untuk korban konflik dan dana takziah tsunami. Sementara masyarakat di tingkat grass root masih harus mempertaruhkan nyawa dalam bekerja untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Karenanya, kegagalan proses reintegrasi hari ini bukanlah tanpa sebab. Ini semua sebagai buah dari ketidakjujuran para elite dalam mengelola dana yang mengalir ke Aceh. Faktor ini diperburuk oleh sikap elite Aceh yang lupa diri, sehingga menimbulkan kerawanan keamanan yang sulit diminimalisir.

Lihatlah tingkah para elite Aceh sekarang ini yang kebanyakan dari kalangan mantan GAM, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Mereka seolah tiada henti membuat manuver hanya untuk sebuah target; memenuhi hasrat berkuasa. Para elite Aceh masih saja larut dengan ‘syndrom kaum terjajah’ yang lupa diri begitu punya kuasa.  

Kepercayaan rakyat yang diembankan kepada mereka justru dibalas dengan hadiah sakit hati kolektif dan pesimisme massif. Hal ini kemudian melahirkan frustrasi sosial di tengah-tengah membludaknya angka pengangguran. Bila tidak segera diantisipasi, bukan mustahil persoalan tersebut akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Seharusnya para elite Aceh sadar, tatkala proses reintegrasi gagal, tanpa mereka sadari sebenarnya hukum-hukum revolusi sedang berjalan dengan sendirinya, secara perlahan dan alami. Kemungkinan terburuk, puncak dari furstrasi sosial bisa saja melahirkan revolusi berdarah—bunuh-bunuhan atau bakar-bakaran—seperti di era konflik Aceh dulu.

Sengaja kami sampaikan hal-hal yang mungkin terasa pahit pada momentum peringatan 10 Tahun MoU Helsinki ini, agar para pengambil kebijakan hari ini menyadari, bahwa mereka harus bekerja keras dan cerdas dalam menuntaskan proses reintegrasi di Aceh. Semoga mereka mampu memenuhi janji-janjinya kepada rakyat dan (sebaliknya) tidak lupa diri saat berada di puncak kekuasaan.[]