HARI INI, kita memasuki tahun ke-10 lahirnya memorandum of understanding (MoU) atau
nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia. Sejatinya, masa satu
dekade itu bisa menuntaskan proses reintegrasi bagi mantan kombatan GAM untuk bersama-sama
membangun Aceh ke arah yang lebih baik.
Namun apa lacur, proses reintegrasi yang menguras
energi dan biaya besar ternyata masih menyisakan beragam persoalan yang
berpotensi mengembalikan Aceh ke era konflik. Masih adanya kelompok-kelompok
sipil bersenjata api, semacam Din Minimi Cs, memberi sinyal bahwa Aceh belum
sepenuhnya keluar dari kerawanan gangguan keamanan.
Kita tentu sepakat, penyebab utama kegagalan reintegrasi
di Aceh dilatarbelakangi ketimpangan sosial antar sesama eks kombatan GAM.
Pertumbuhan ekonomi Aceh yang lemah juga telah memunculkan kelompok-kelompok
kriminal baru yang memperkeruh kondisi keamanan di Aceh hari ini.
Selama ini, Pemerintah Aceh juga tidak memiliki
perencanaan yang jelas menyangkut proses reintegrasi. Padahal, di masa-masa
awal perjalan perdamaian Aceh, daerah ini memiliki banyak bantuan dana dari
pemerintah pusat dan lembaga-lembaga international. Selain dikelola Badan
Reintegrasi Aceh (BRA), dana untuk keberlangsungan proses reintegrasi juga diplotkan
melalui program-prgram Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias.
Anehnya, dana yang melimpah itu justru melahirkan
ketimpangan sosial di masyarakat Aceh. Di tingkat elite, lahir sederet orang
kaya baru di Aceh yang kekayaannya bersumber dari bantuan untuk korban konflik
dan dana takziah tsunami. Sementara masyarakat di tingkat grass root masih harus mempertaruhkan nyawa dalam bekerja untuk
sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Karenanya, kegagalan proses reintegrasi hari ini
bukanlah tanpa sebab. Ini semua sebagai buah dari ketidakjujuran para elite dalam
mengelola dana yang mengalir ke Aceh. Faktor ini diperburuk oleh sikap elite
Aceh yang lupa diri, sehingga menimbulkan kerawanan keamanan yang sulit
diminimalisir.
Lihatlah tingkah para elite Aceh sekarang ini yang
kebanyakan dari kalangan mantan GAM, baik di lembaga eksekutif maupun
legislatif. Mereka seolah tiada henti membuat manuver hanya untuk sebuah
target; memenuhi hasrat berkuasa. Para elite Aceh masih saja larut dengan ‘syndrom
kaum terjajah’ yang lupa diri begitu punya kuasa.
Kepercayaan rakyat yang diembankan kepada mereka justru
dibalas dengan hadiah sakit hati kolektif dan pesimisme massif. Hal ini
kemudian melahirkan frustrasi sosial di tengah-tengah membludaknya angka
pengangguran. Bila tidak segera diantisipasi, bukan mustahil persoalan tersebut
akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Seharusnya para elite Aceh sadar, tatkala proses
reintegrasi gagal, tanpa mereka sadari sebenarnya hukum-hukum revolusi sedang
berjalan dengan sendirinya, secara perlahan dan alami. Kemungkinan terburuk,
puncak dari furstrasi sosial bisa saja melahirkan revolusi
berdarah—bunuh-bunuhan atau bakar-bakaran—seperti di era konflik Aceh dulu.
Sengaja kami sampaikan hal-hal yang mungkin terasa
pahit pada momentum peringatan 10 Tahun MoU Helsinki ini, agar para pengambil
kebijakan hari ini menyadari, bahwa mereka harus bekerja keras dan cerdas dalam
menuntaskan proses reintegrasi di Aceh. Semoga mereka mampu memenuhi
janji-janjinya kepada rakyat dan (sebaliknya) tidak lupa diri saat berada di puncak
kekuasaan.[]