Syariah di Tangan Kanan, Rente di Tangan Kiri

Di penghujung rezim Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, Pemerintah Aceh membuat dua gebrakan yang saling kontradiktif satu sama lain. Di satu sisi gencar membumikan perbankan syariah, sementara di sisi lain ngotot memburu rente hingga ke luar negeri.


Sejak 19 September 2016, secara serentak operasional Bank Aceh dialihkan dari konvensional ke syariah. Terlepas dari berbagai resiko yang akan dihadapi Bank Aceh, banyak pihak mengapresiasikan langkah Pemerintah Aceh tersebut.

Dengan melaksanakan konversi Bank Aceh, Pemerintah Aceh dinilai berkomitmen memperkuat implementasi Syariat Islam dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat, termasuk pada sektor ekonomi dan perbankan. Dengan harapan, masyarakat Aceh secara perlahan dapat meninggalkan sistem ekonomi ribawi dengan mengoptimalkan dan memberdayakan institusi keuangan syariah dan baitul mal.

Sayangnya, semangat penguatan istitusi keuangan syariah ini berbanding terbalik dengan kebijakan Pemerintah Aceh di bidang pembangunan. Di saat bersamaan, Pemerintah Aceh menggarap pinjaman luar negeri Rp1,396 triliun untuk pembangunan lima rumah sakit regional di Aceh. Bahkan, pinjaman pada Bank Pembangunan Jerman (KfW) itu sudah mendapat persetujuan DPRA.

Kebijakan ini patut kita sesalkan. Bukan berarti kita tidak mendukung pembenahan di sektor pelayanan kesehatan, namun pembangunan lima rumah sakit sekaligus dengan uang pinjaman adalah kebijakan berlebihan. Terkesan terlalu dipaksakan dan sarat kepentingan politis yang membebani Aceh di masa mendatang.

Jumlah pinjaman dengan kurs rupiah lebih kurang sebesar Rp1.396.730.400.000 atau setara 98.000.000 Euro yang harus dicicil selama 15 tahun akan mendatangkan persoalan baru bagi Aceh. Selain mewarisi utang kepada generasi berikut, pinjaman itu juga membebani kita dengan bunga bank atau rente secara berkepanjangan.

Sistem apapun yang digunakan, pinjaman luar negeri tidak dapat dilepaskan dari bunga (riba) yang diharamkan dalam Islam. Aceh sebagai daerah yang menerapkan Syariat Islam dan sedang gencar-gencarnya menerapkan ekonomi berbasis syariat sungguh disayangkan kembali terjerat utang luar negeri yang jauh dari sistem syariat.

Selain itu, utang luar negeri sangat indentik dengan instrumen penjajahan. Sebagai produk kapitalisme, utang yang semula sebagai bantuan pinjaman lunak akan menjadi alat kekuasaan bagi mereka (dalam hal ini Jerman) untuk mengintervensi Aceh di masa mendatang.

Karena itu, Islam mengajurkan umatnya untuk bekerja dan mengelola hidupnya secara mandiri tanpa lilitan utang. Dalam konteks negara, pemerintah harus mandiri dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya. Bukan justru mengambil jalan pintas dengan berutang pada negara kaya yang menjerumuskan kita pada praktik riba dan mengembalikan kita sebagai kaum terjajah.

Lebih-lebih bagi Aceh, kebijakan utang luar negeri ini menunjukkan wajah bopeng pemerintah kita. Sistem ekonomi syariah diterapkan, praktik riba pun dijalankan. Tanpa merasa bersalah, penerapan Syariat Islam dilaksanakan sesuai kepentingan dan keuntungan penguasa.[]