Aceh yang Gila Label

Dari dulu, masyarakat Aceh memang ‘gila label’. Di kalangan pemuda Aceh, memburu pakaian bermerk menjadi trand yang tiada akhirnya. Sampai-sampai, seorang pemuda Aceh di perantauan bisa ditandai dengan hanya melihat merk celana yang digunakan. Bila berwajah ke-Aceh-an dan memakai jeans berlabel Levis 501 original, bisa langsung diyakini bahwa pemuda itu adalah orang Aceh. Ini berlaku di mana-mana, seperti Jakarta, Batam bahkan Malaysia, karena sangat jarang pemuda dari daerah lain memakai celana impor buatan USA.

Di sisi lain, Aceh juga menyandang berbagai label kedaerahan yang mendunia. Mulai dikenal sebagai daerah modal, daerah istimewa, tanah rencong, serambi mekkah, hingga menyandang label negeri bersyariat. Untuk melengkapi julukan terakhir, pemerintah kita gencar memburu label lain yang berkaitan dengan penerapan Syariat Islam di Aceh.

Dari perburuan itu, antara lain Aceh kini menyandang predikat destinasi wisata halal. Sayangnya, fasilitas wisata di Aceh belum mencerminkan predikat tersebut. Hotel dan restoran saja tidak menyediakan fasilitas ibadah memadai bagi wisatawan muslim yang berkunjung ke Aceh. Belum lagi mekanisme pengelolaan objek wisata di Aceh, umumnya masih jauh dari nilai-nilai islami.

Belakangan, Bank Aceh juga dikonversi menjadi bank syariah penuh. Lagi-lagi, bank yang mayoritas sahamnya milik Pemerintah Aceh ini pun terkesan hanya berganti kulit. Pola kerjanya dinilai masih sama dengan bank konvensional yang sarat unsur riba.

Beragam pertanyaan muncul. Apakah kata ‘syariah’ sebatas label yang ujung-ujungnya tetap mengejar profit? Dengan transaksi menggunakan bahasa Arab, apakah bisa menjamin operasinal Bank Aceh sudah sesuai Syariat Islam? Atau sama saja dengan bank konvensional yang hanya dibedakan dengan embel-embel syariah?

Boleh jadi pula, konversi Bank Aceh sebatas menjawab keinginan pasar di Aceh. Dengan menyandang predikat syariah, Bank Aceh tentu bisa mengelola dana Zakat Infak dan Sedekah (ZIS), Ongkos Naik Haji (ONH), dan dana lembaga Islam lainnya.

Kalau tujuannya sekadar ingin merambah pengelolaan dana umat—selain dana pemerintah, pantas disebut bahwa penerapan Syariat Islam di Aceh sesuai kebutuhan penguasa. Hanya diterapkan untuk hal-hal yang menguntungkan kocek penguasa dan mereka tidak segan-segan memburu keuntungan lain dengan melabrak rambu-rambu syariat.

Dugaan tersebut sangat beralasan, karena di saat bersamaan Pemerintah Aceh juga memburu rente hingga ke luar negeri. Kengetotan rezim Zikir berutang pada Jerman yang sarat unsur riba patut dicurigai sebagai upaya mengejar sukses fee dengan menghalkan segala cara.

Karena itu, rencana pimjaman luar negeri Rp1,396 triliun untuk pembangunan rumah sakit, harus dibatalkan kalau ingin menerapkan Syariat Islam secara kaffah di Aceh. Sungguh disayangkan bila hukum Allah hanya dijadikan mainan politik penguasa.

Ingat, Islam mengikatkan seluruh perbuatan manusia dengan hukum syara’. Sebagaimana kaidah fikih menyebutkan, diharamkan bagi setiap muslim melakukan perbuatan tanpa mengetahui status hukumnya. Apalagi soal riba yang sudah jelas-jelas haram, maka wajib ditinggalkan.

Kita memang ‘gila’ label, tapi jangan sampai Syariat Islam juga dimaknai sebatas label. Terapkanlah syariah sebagaimana mestinya dan jangan lagi sandera Aceh dengan uang rente yang dilarang keras dalam Islam.[]