Ketika Pilkada Menjadi Cikal Bakal Korupsi

Kekuasaan memang menyilaukan bagi sebagian orang. Berbagai cara akan ditempuh untuk mendapatkan tampuk kekasaan, termasuk merogoh kocek dalam jumlah besar.
 

Tidak tanggung-tanggung, setiap pasangan calon kepala derah di level kabupaten/kota mebutuhkan biaya kontestasi paling sedikit Rp10 miliar. Sementara bagi pasangan calon gubernur, anggran yang dibutuhkan bisa mencapai Rp100 miliar.

Kontestasi demokrasi berbiaya tinggi juga berlaku dalam Pilkada Aceh 2017. Selain untuk kebutuhan logistik tim pemenangan, biaya kontestasi telah terlebih dahulu dikeluarkan sebagai mahar politik yang dibebankan partai pengusung. Biasanya, mahar politik yang dikeluarkan setiap pasangan calon setara dengan biaya yang dihabiskan kandidat independen dalam memperoleh KTP dukungan masyarakat.

Untuk menutupi biaya kontestasi yang amat tinggi, terkadang mereka nekat utang sana-sini. Tidak tertutup kemungkinan, para kandidat membuat deal-deal dengan pengusaha nakal demi mendapatkan suntikan dana kampanye.

Memang, KIP Aceh telah mengeluarkan aturan tentang dana kampanye maksimum masing-masing pasangan calon, termasuk batasan sumbangan dari pihak ketiga. Merujuk Keputusan Nomor 3/Kpts/KIP Aceh/Tahun 2016, setiap pasangan calon hanya dibolehkan menggunakan dana kampanye Rp89.678.068.000. Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadi manipulasi dalam pelaporan dana kampanye oleh kandidat yang mendapat suntikan dana berlimpah dari pengusaha nakal.

Bisa dipastikan, dengan biaya politik tinggi, para kandidat akan menanggung beban berkepanjangan. Bagi yang kalah akan jatuh miskin dengan beban utang yang membengkak. Sementara kandidat terpilih tidak akan fokus pada upaya penyejahteraan rakyat saat menjadi kepala daerah, tapi sibuk pada usaha mengembalikan modal.

Parahnya lagi, untuk mengisi kembali pundi-pundi kekayaan yang terkuras atau untuk membayar pinjaman selama Pilkada, kepala daerah terjebak korupsi. Politik balas budi juga menjadi hal lumrah antara kepala daerah dengan pengusaha nakal atau pihak lain yang ikut membantu memenangi Pilkada.

Dengan biaya tinggi, Pilkada yang semestinya menjadi sarana untuk memproduksi pemimpin daerah berkualitas, justru melahirkan rezim pemerintahan yang korup. Dana kontestasi yang terlalu besar juga akan mengancam kemandirian bangsa, karena pemimpin yang lahir lebih mementingkan kekuasaan dibanding kesejahteraan rakyat.

Kenyataan tersebut menjadi ironi dalam sistem demokrasi yang sedang berlangsung di negeri ini. Politik uang semakin marak, biaya yang ditanggung para kontestan Pilkada kian membengkak. Sementara kualitas demokrasinya terjun bebas, bahkah makin jauh dari nilai-nilai integritas.

Akhirnya, Pilkada hanya menjadi pangkal korupsi yang terus memproduksi penghuni rumah tahanan negara. Makanya jangan heran, hampir 50 persen ‘pasien’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pelaku politik, termasuk para kepala daerah. Inikah sistem demokrasi yang kita bangga-banggakan?[]